1. Pengantar Filsafat Umum
2. Konsep Berpikir
3. Tujuh Filsuf Islam
4. Tuhan di Mata Para Filsuf
5. Whose Freedom - George Lakoff
6. The Language War - Robin Tolmach Lakoff
7. The Contemporary Theory of Metaphor - George Lakoff
8. Agama Jawa
9. Complete Works of Aristotle
10. Dunia Sophie
11. Mediaeval Philosophy from 500 - 1500
12. Modern Philosophy from 1500 - presents
13. Philosophers of Education
14. Political Philosophy
15. The Collected Works of Wittgenstein
16. Confessioness
Ngelmu Filsafat
Thursday, 10 May 2018
Tuesday, 24 October 2017
Manusia Makhluk Politik: Filsafat Sosial Jacques Derrida
“Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:29)
Sekilas tentang Derrida
Jacques Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di Aljazair pada tanggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah ke Perancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia pernah mendapat gelar doctor honoris causadi Universitas Cambridge. Ia mengajar di Ecole Normale Superieure di. Paris. Latar belakang pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Buku pertama Derrida adalah menerjemahkan karya Husserl yang berjudul The Origin of Geometry. Di dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology, Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pemikiran Saussure mengenai definisi bahasa. Ia mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Karya-karya lainnya adalah kritiknya terhadap para filosof mulai dari Aristoteles, Heidegger, Levinas, Austin, Nietzsche, Schmitt, hingga sastrawan Perancis Mallarme, dan lain-lain. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker.
Pengantar: Postmodernisme
Jacques Derrida merupakan filosof yang berkarya pada era post-modern. Secara etimologi post-modern berasal dari kata post (sesudah) dan modern (modus, methodos), Dari arti etimologinya, post-modern diartikan secara bebas dengan filsafat sesudah modern. Arti bebas tersebut merupakan makna yang dangkal karena menempatkan post-modern hanya dalam periode waktu tertentu. Namun, makna dangkal itu akan merangsang pertanyaan lebih lanjut, apa sebenarnya gagasan dasar filsafat post-modern? Apa bedanya dengan modern?
Dalam bidang filsafat yang pertama kali memakai istilah post-modern adalah Jean-Francois Lyotard. Dalam bukunya, "Kondisi Postmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, Lyotard menggugat kebenaran-kebenaran ilmiah yang dilegitimasi oleh pemikiran modern.[1] Ia menyatakan bahwa kebenaran-kebenaran ilmiah yang telah di klaim oleh para ilmuwan sebenarnya masih terus dikaji ulang kebenarannya oleh ilmuwan-ilmuwan lain dan bahkan oleh pengklaim kebenaran itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada kebenaran yang tidak dapat diperdebatkan. Ketidakpercayaan akan segala sesuatu merupakan ciri khas post-modern. Dengan demikian berkembanglah nihilisme, anarkisme, dan pluralisme permainan bahasa.[2]Rumusan-rumusan filosofis tidak menggunakan pernyataan positif tapi lebih banyak menggunakan pernyataan negatif seperti bukan ini-bukan itu.
Filsafat yang banyak digeluti pada era post-modern adalah filsafat bahasa. Semua kebenaran diungkapkan dalam bahasa. Akan tetapi, cukup memadaikah bahasa dalam mendeskripsikan "kebenaran"? Wittgenstein melalui Tractatus Logicus-Philosophicus-nya begitu optimis akan kehebatan bahasa sebagai cetusan filosofis. Di kemudian hari, Wittgenstein merevisi pandangannya melalui languange games-nya yang mengakui bahwa bahasa memiliki keterbatasan. Para filosof pun menjadi sering memberikan istilah yang aneh-aneh untuk mengatasi keterbatasan itu. Heideger mempunyai Dasein, Sartre dengan Being dan Nothingness, lalu Hegel dengan Roh (geschichte) nya, dan lain-lain. Istilah-istilah asing tersebut menjadi sasaran kritik Derrida. Namun ironisnya, Derrida pun memberikan istilah yang asing pula, "differance" dan "trace" (jejak). Istilah-istilah asing itu kemudian dibongkar Derrida dengan dekonstruksi. Dekonstruksi bukan dimaksudkan untuk menghancurkan bangunan filsafat. Lebih tepatnya, dekonstruksi adalah suatu pembongkaran teks, konstruksi yang disertai dengan destruksi. Tujuan dekonstruksi bukan untuk mengkritik premis-premisnya, tetapi membuat suatu teks menjadi lebih filosofis. Filsafat adalah diskusi yang tak pernah selesai. Jika suatu teks filsafat sudah selesai dengan deskripsi seorang filosof dan kelihatan begitu mudah, maka teks tersebut perlu untuk didekonstruksi.
Dekonstruksi
Dekonstruksi bukan dimaksudkan untuk menghancurkan bangunan filsafat. Lebih tepatnya, dekonstruksi merupakan suatu pembongkaran teks, konstruksi yang disertai dengan destruksi pada saat yang bersamaan. Tujuan dekonstruksi bukan untuk mengkritik premis-premisnya, tetapi membuat suatu teks menjadi lebih filosofis. Filsafat adalah diskusi yang tak pernah selesai. Jika suatu teks filsafat sudah selesai dengan deskripsi seorang filosof dan kelihatan begitu mudah, maka teks tersebut perlu untuk didekonstruksi.
Dekonstruksi hendak menjaga ketidakstabilan teks. Pemahaman suatu teks tidak akan mencapai finalitas. Makna bukan merupakan tujuan karena tidak akan tercapai. Dekonstruksi justru bertujuan untuk menunda pemaknaan suatu teks.
Dekonstruksi bukanlah sebuah metode karena justru mengkritik metode itu sendiri. Pertama-tama, pembacaan teks menempatkan pokok pembahasan pada oposisi biner, seperti pria-wanita, kiri-kanan, timur-barat, dan lain-lain. Oposisi biner itu kemudian ditempatkan dalam fakta historisnya. Setelah itu, teks ditempatkan pada posisi yang melampaui sejarah, lalu dhubungkan dengan mitos atau iman misalnya. Misalnya, untuk membahas posisi perempuan di dunia modern, posisi perempuan dimaknai dalam oposisinya, yaitu laki-laki karena dalam terminologi ‘perempuan’ sudah terkandung terminologi ‘laki-laki’. Setelah itu, pemaknaan akan dilanjutkan dengan pembahasan laki-laki dan perempuan dari sisi historis. Dari historisitas laki-laki dan perempuan, pemaknaan akan menukik menuju pembahasan mengenai kemanusiaan, yaitu aspek ahistoris (metafisis) dari oposisi biner tersebut. Jadi, pengangkatan isu tentang perempuan bukan untuk mengangkat marjinalitas perempuan, tapi untuk membahas kemanusiaan dan akhirnya makna kemanusiaan itu akan ditunda untuk menjaga keterbukaan atau dinamika teks menuju pemaknaan selanjutnya. Selain itu, pemaknaan juga tidak mengambil konteks dari apa yang di luar konteks. Konteks itu sendiri sudah terkandung dalam teks sehingga sebenarnya teks sama dengan konteks, tidak ada yang berada di luar teks. Dekonstruksi akhirnya bukanlah sebuah dialektika (tesis-antitesis-sintesis), namun bergerak dari konstruksi-destruksi-rekonstrusi pada saat yang bersamaan.
Gagasan politik Derrida termuat dalam esainya yang berjudul Politics of Friendship. Dalam esai tersebut Derrida mendekonstruksi karya politik Carl Schmitt dan Aristoteles. Menurut Schmitt, politik selalu bertolak dari keberadaan musuh atau dengan kata lain musuh merupakan syarat utama eksistensi politik. Ketika musuh itu tidak ada, maka politik juga tidak ada. Namun pada kenyataannya, musuh itu selalu ada meskipun baru sebagai potensi. Sehingga secara hakiki, manusia adalah makhluk politik. Schmitt menyatakan:
War is neither the aim nor the purpose nor even the very content of politics. But as a real possibility it is an ever present which determines in a characteristic way human action and thinking and thereby creates a specifically political behaviour.[3]
Konsekuensi dari pandangan Schmitt tersebut adalah permusuhan menjadi aktivitas politik yang utama. Permusuhan itu akan menjadi perang antar-umat manusia. Perang ini dapat diartikan sebagai sebuah perang militer. Yang dimaksud dengan perang adalah kehadiran unsur-unsur taktik strategi, musuh, dan kawan.
Derrida mempertanyakan pendapat Schmitt tersebut, "Apakah tidak mungkin membangun suatu politik di mana di dalamnya tidak ada musuh? Pertanyaan ini cukup aneh. Karena menurut Schmitt hal itu tidak mungkin. Di sinilah letak keunikan filsafat politik Derrida. Dalam karyanya yang berjudul Impossible, Derrida melihat sebuah ketidakmungkinan sebagai kemungkinan yang akan menjadi (still come to). Derrida mengusulkan satu landasan baru yang bertentangan dengan gagasan Schmitt.
Dengan mengambil gagasan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, Derrida mengusulkan persahabatan sebagai landasan baru politik daripada permusuhan. Namun gagasannya agak berbeda dari Aristoteles. Jika persahabatan itu dilihat dari sudut pandang Aristoteles, maka sebenarnya persahabatan tidak lagi berada dalam ranah politik. Aristoteles mengemukakan tiga landasan politik yaitu keuntungan, keadilan, dan persahabatan. Ketiganya harus dilihat sebagai suatu hierarkis dengan tingkatan paling rendah adalah keuntungan. Pertama-tama adalah keuntungan. Orang berpolitik karena melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan ketika berafiliasi dengan orang lain. Landasan keuntungan ini berkembang karena orang akan hanya berpolitik ketika orang mempunyai kepentingan. Jika sudah tidak ada kepentingan yang sama, maka kawan bisa menjadi lawan. Maka politik terus berkembang dari keuntungan menjadi keadilan. Politik dengan landasan keadilan merupakan suatu keniscayaan. Dalam keadilan tujuan utamanya adalah kesejahteraan bersama. Kekuasaan berfungsi untuk menjamin pendistribusian sumber daya secara merata. Sehingga setiap orang dalam polis memperoleh sumber daya sesuai dengan kebutuhannya. Landasan keuntungan dan keadilan inilah yang dikatakan Aristoteles berada dalam wilayah politik. tingkatan ketiga, persahabatan, tidak lagi berada dalam wilayah politik. Persahabatan merupakan kesempurnaan relasi sosial. Dalam persahabatan orang tidak lagi melihat keuntungan sebagai dasar relasi. Begitu juga dengan keadilan. Keadilan tidak lagi dibutuhkan karena orang yang bersahabat akan memperlakukan sahabatnya dengan kelakuan yang baik. Maka dapat dikatakan bahwa persahabatan berada di atas politik. Gagasan Aristoteles itulah yang hendak didekonstruksi oleh Derrida.
Derrida menempatkan persahabatan sebagai dasar politik. Politik itu harus didasari persahabatan dan menghasilkan persahabatan sebagaimana dikatakan oleh Derrida:
Friendship provides numerous advantages, notes Cicero, but none is comparable to this unequalled hope, to this ecstasy towards a future which will go beyond death. Because of death, and because of this unique passage beyond life, friendship thus offers us a hope that has nothing in common, besides the name, with any opinion concerns the very work of the political: operly political act or operation amounts to creating (to producing, to making, etc.) the most friendship possible.[4]
Persahabatan memberikan banyak keuntungan seperti kesejahteraan bersama. Namun keuntungan yang diberikan oleh persahabatan bukanlah keuntungan yang obyektif Keuntungan itu berbeda-beda tergantung subyek yang memandangnya, sehingga kesejahteraan yang ditawarkan persahabatan juga bersifat harapan (come to), Meskipun demikian persahabatan tetap menjadi landasan politik yang terbaik.
Politics of Friendship dibuka oleh satu kalimat yang kontroversial, "Oh my friends, there is no friends". Kalimat ini mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Frase pertama “oh my, friends” menunjukkan bahwa ada teman, ada sahabat yang dimiliki. Sedangkan frase yang kedua, “there is no friends” menunjukkan ketiadaan teman, sahabat. Hal ini hanya bisa dijelaskan dalam konteks masa depan (future). Ketiadaan teman berarti ada musuh. Musuh sebenarya adalah teman yang belum menjadi teman. Gagasan utamanya adalah Derrida mengundang pelaku politik untuk mau menjadikan musuh sebagai teman. Dalam menjadikan musuh sebagai teman, hal yang dapat dilakukan adalah dengan cinta. Diperlukan keaktifan dalam hal cinta. Keaktifan itu ditunjukkan dengan aktivitas mencintai daripada dicintai.[5]
Siapakah yang dimaksud sebagai teman? Pertanyaan ini memasukkan pemikiran filsafat politik Derrida menuju kritiknya kepada Levinas. Levinas, dalam Totalite et Infini, berpendapat bahwa “yang lain” bersifat absolut. Artinya, melihat “yang lain” sebagai “yang lain”. Maka, setiap subyek mempunyai tanggung jawab etik atas subyek lain. Namun dasar etika yang dipakai oleh Levinas adalah keberadaan Tuhan. Pelanggaran terhadap orang lain merupakan tindakan tidak etis karena kehadiran Tuhan. Derrida bertentangan dengan Levinas. Bagi Derrida, dasar penghargaan terhadap yang lain adalah kemanusiaan:
Hence, the categorical imperative: not to betray humanity. 'High treason against humanity' is the supreme perjury, the crime of crimes, the fault against the originary oath. To betray humanity would be to betray, quite simply, to fall short of virtue that is, short of the virtue of fraternity. In that humanity, one should never betray one's brother. Curse or speak ill of him. Another way of saying: only the brother can be betrayed. Fratricide is the general form of temptation, the possibility of radical evil, the evil of evil.[6]
Derrida tidak begitu saja mengambil filsafat Levinas, melainkan mendekonstruksinya dengan filsafat Kant. Kekerasan pada dasarnya bukan suatu hal yang manusiawi. Kemanusiaan terletak pada keutamaan persaudaraan. Pengkhianatan terhadap persaudaraan merupakan kejahatan yang paling jahat. Keutamaan yang paling fundamental dalam hidup bersama adalah hormat dan tanggung jawab.[7]Hormat merujuk pada penghargaan kepada martabat manusia sebagaimana pemikiran Kant. Sedangkan tanggung jawab diambilnya dari gagasan Levinas. Namun selanjutnya akan dapat dilihat bahwa hormat dan tanggung jawab itu bukanlah hormat dan tanggung jawab sebagaimana persis dimaksudkan oleh kedua filosof acuannya. Derrida membawa hormat dan tanggung jawab itu ke dalam wilayah yang lebih luas. Politik bukanlah sekadar relasi antara dua orang, bukan hanya urusan saya dan “yang lain”. Politik selalu menyangkut kepentingan orang banyak. Maka hormat dan tanggung jawab juga berhubungan dengan orang banyak pula. Konsekuensinya, prinsip dasar dalam politik adalah melihat semua manusia sebagai kodrat yang mulia karena ia setara dengan saya. Cara pandang ini mengantarkan pada gagasan kesetaraan (equality). Saya tidak boleh membunuh sesama manusia bukan karena hal itu dilarang oleh Tuhan, tetapi karena ia setara dengan saya. Jika saya membunuh orang lain maka dapat dikatakan saya bukan lagi manusia atau tindakan itu bukan tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh manusia. Gagasan tentang kesetaraan ini ternyata tak lepas dari kesulitan juga bahwa pada kenyataannya manusia itu berbeda-beda, misalnya dalam hal fisik, jenis kelamin, kedudukan, status sosial, dan lain-lain. Perlu cara lain yang lebih relevan dalam melihat manusia. Cara pandang yang hanya melihat hal-hal lahiriahnya adalah cara pandang yang artifisial. Derrida ) menawarkan cara pandang yang lebih holistik:
The crime against humanity would be to disdain currency, however devalued, illusory or false it may be; it would be to take counterfeit money for counterfeit, for what it is, and to let it come into its truth as counterfeit money. The crime would be not to do everything in one's power to change it into gold - that is, into virtue, morality, true friendship.[8]
Apa yang nampak di hadapan kita adalah seperti uang palsu. Ketika kita melihat sesosok manusia, yang kita lihat hanya permukaannya. Kejahatan terjadi ketika seseorang hanya melihat luarnya saja. Misalnya ketika melihat orang yang secara fisik lebih lemah, maka hal itu menggerakkan kita untuk berbuat jahat. Atau ketika melihat orang yang jahat membuat kita merasa layak untuk menghakiminya menurut ukuran kita. Pada kedalamannya, manusia adalah sosok yang agung, mulia, dan bermartabat luhur. Di mana letak keagungan manusia itu? Dasar yang menjadikan manusia itu bermartabat luhur bukanlah Allah, namun keberadaan manusia itu sendiri. Manusia secara kodrati membawa kualitas-kualitas yang menjadikannya patut dihargai dan dicintai. Oleh karena itu, janganlah menilai seseorang dari luarnya saja, lihatlah kodratnya.
Lalu, bagaimana hendaknya menyikapi segala perbedaan yang dinampakkan sebagai kepalsuan itu? Alih-alih mengusulkan toleransi, Derrida menawarkan pesanggrahan atau kemurahan hati bersyarat. Toleransi bukanlah sikap yang tepat dalam menghadapi orang lain. Toleransi selalu berada dalam konteks atasan dan bawahan. Hanya pihak atasan yang dapat memberikan toleransi. Pihak bawahan selalu hanya bisa menerima toleransi sebagai jaminan rasa amannya ketika berada di bawah atasan. Rumusan yang diberikan Derrida untuk toleransi adalah aku membiarkan kamu ada, kamu tidak terlalu ekstrem untuk ditanggung, aku menyisakan sebuah tempat untuk kamu di rumahku, tetapi jangan lupa bahwa ini rumahku.[9]Orang lain tidak menjadi beban bagiku dan aku dapat menerimanya, namun orang lain itu harus mengikuti aturan-aturanku, adat istiadatku, dan segala kebiasaanku. Dengan demikian masih ada syarat-syarat untuk dapat menerima kehadiran yang lain. Toleransi lebih bersifat kesiapsediaan untuk menerima, pasif. Dalam kesanggrahan, sikap yang ditunjukkan adalah toleransi tanpa syarat, kehadiran yang lain diterima sebagaimana adanya tanpa harus ikut aturanku. Bahkan, kesanggrahan lebih bersifat aktif. Saya tidak hanya dapat menerima kehadiran orang lain, saya mengundang orang lain untuk masuk ke dalam hidup saya. Jadi saya juga membutuhkan yang lain, bagaimanapun keadaannya.
Dengan merangkum hal-hal di atas, ada tiga nilai atau keutamaan yang ditawarkan oleh Derrida, yaitu persaudaraan, kesetaraan dan kesanggrahan. Ketiga hal ini dapat dirangkum menjadi satu terminologi, yaitu demokrasi:
For democracy remains to come; this is its essence in so far as it remains: not only will it remain indefinitely perfectible, hence always insufficient and future, but, belonging to the time of the promise, it will always remain, in each of its future times, to come: even when there is democracy, it never exists, it is never present, it remains the theme of a non-presentable concept. Is it possible to open up to the 'come' of a certain democracy which is no longer an insult to the friendship we have striven to think beyond the homo-fraternal and phallogocentric schema? When will we be ready for an experience of freedom and equality that is capable of respectfully experiencing that friendship, which would at last be just, just beyond the law, and measured up against its measurelessness? o my democratic friends ...[10]
Demokrasi merupakan perwujudan politik yang paling ideal. Di dalamnya terwujud nilai-nilai persahabatan. Dengan demokrasi tujuan politik dapat tercapai. Dengan kata lain demokrasi menunjukkan suatu relasi sosial hidup bersama yang ideal. Namun sayangnya demokrasi ini adalah suatu kesempurnaan yang tidak akan terwujud, yang bisa dicapai hanya jejaknya. Dalam hidup bersama memang setiap orang mengusahakan terwujudnya demokrasi, namun tidak akan tercapai. Lalu kalau tidak mungkin dicapai, mengapa setiap orang harus berusaha untuk hal yang mustahil itu? Schmitt melihat politik sebagai pertentangan kawan dan musuh. Hal tersebut mengandaikan setiap orang berusaha untuk saling menjatuhkan. Derrida menolak hal ini. Orang yang saling menjatuhkan tidak mengusahakan kebaikan. Maka, meskipun kebaikan (dalam demokrasi) tidak akan terwujud, setiap orang akan tetap mengusahakan karena pada dasarnya orang menginginkan kebaikan dalam hidup bersama. Demokrasi selalu berada dalam wilayah menjadi (still come to)
Manusia
Dari bagian politik persahabatan sebenarnya sudah sedikit disinggung tentang manusia. Di atas telah dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang agung, mulia, dan bermartabat luhur secara kodrati. Selain itu, manusia juga pada dasarnya makhluk sosial karena kehadiran yang lain merupakan keniscayaan bagi keberadaan dirinya.[11]
Pijakan persahabatan dalam demokrasi menurut Derrida juga menyiratkan sifat sosial manusia. Karena pada dasarnya manusia menginginkan kebaikan dan keuntungan, maka manusia pada kodratnya pula menginginkan persahabatan. Persahabatan tidak pernah terjadi pada ruang privat. Pembahasan manusia pada bab ini akan bertitik tolak dari jumalnya yang berjudul "The Animal That Therefore I Am (More to Follow)". Titik tolaknya adalah pertanyaan, apa hewan itu?
Animal is a word that men have given themselves the right to give. These humans are found giving it to themselves, this word, but as if they had received it as an inheritance. They have given themselves the word in order to corral a large number of living beings within a single concept: "the Animal," they say. And they have given themselves this word, at the same time according themselves, reserving for them, for humans, the right to the word, the name, the verb, the attribute, to a language of words, in short to the very thing that the others in question would be deprived of, those that are correlated within the grand territory of the beasts: the Animal.[12]
Hewan (animal) adalah terminologi yang diberikan manusia untuk menyebut segala sesuatu yang hidup. Maksud dari "yang hidup" adalah sensibilis, bisa merasakan, atau bisa menginderai. Maka, manusia pada dasarnya adalah hewan. Lalu, apa keistimewaan manusia dari antara hewan-hewan yang lain? Apa yang menjadi perbedaan dasar antara manusia dengan hewan? Lebih lanjut Derrida mengatakan:
All the philosophers we will investigate (from Aristotle to Lacan, and including Descartes, Kant, Heidegger, and Levinas), all of them say the same thing: the animal is without language. Or more precisely unable to respond, to respond with a response that could be precisely and rigorously distinguished from a reaction, the animal is without the right and power to respond" and hence without many other things that would be the property of man. Men would be first and foremost those living creatures who have given themselves the word that enables them to speak of the animal with a single voice and to designate it as the single being that remains without a response, without a word with which to respond. That wrong was committed long ago and with long-term consequences. It derives from this word or rather it comes together in this word animal that men have given themselves at the origin of humanity and that they have given themselves in order to identify themselves, in order to recognize themselves, with a view to being what they say they are, namely men, capable of replying and responding in the name of men.[13]
Faktor pembeda antara manusia dan hewan adalah bahasa. Manusia bisa berbahasa sedangkan hewan tidak. Bahasa membuat manusia dapat memberikan respons yang diharapkan dari komunikan. Respons yang diberikan bukan hanya sekadar reaksi yang merupakan akibat dari aksi. Respons adalah suatu tanggapan yang terstruktur, yang disadari oleh pemberinya. Bahasa merupakan serangkaian tanda-tanda yang membentuk sistem.[14]Dalam sistem bahasa, satu tanda berlainan dengan tanda lainnya sehingga membentuk makna. Terminologi hewan dimaksudkan untuk memberi identitas pada manusia. Jadi manusia mengidentifikasikan dirinya dengan hewan. Tetapi manusia tetap memberi batasan dalam identifikasi ini. Dengan kata lain dalam mendefinisikan manusia, ada differentia specifica lebih lanjut dalam genus. Differentia specifica-nya adalah bahasa. Kesimpulannya, manusia adalah hewan yang berbahasa. Manusia berada pada tingkatan lebih tinggi daripada hewan karena berbahasa sedangkan hewan tidak. Bisa dikatakan pula posisi manusia berada pada tingkatan yang tertinggi.
Namun jika mengacu pada karya Derrida, Margins of Philosophy:
One can expose only that which at a certain moment can become present, manifest, that which can be shown, presented as something present, a being-present in its truth, in the truth of a present or the presence of the present.[15]
Manusia selalu tampil dalam keadaan belum dalam manifestasi manusia. Manusia yang belum manusia berarti masih dalam taraf hewan. Namun manusia tidak bisa disamakan begitu saja. Manusia berada pada batas sebelum manusia, seperti mungkin gambarannya seperti ini:
Dengan demikian judul artikel Derrida (The Animal that Therefore I am, more to follow) menjadi lebih jelas maknanya. Derrida meletakkan manusia dalam genushewan dan sedang dalam proses menjadi manusia. Hanya saja dalam proses itu, manusia sudah berada pada batasnya.[16]
Bibliografi
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Jilid Perancis. Jakarta: Gramedia, 1985
Borradori, Giovanna. Filsafat dalam Masa Teror (terj. Alfons Talyadt). Jakarta: Kompas, 2005
Derrida, Jacques. "Animal that Therefore I am (trans by. David Wills)". Chicago Journals. Vol. 28, No. 2, Winter 2002
_________. Margins of Philosophy (trans by. Alan Bass). Brighton: The Harvester Press Limited, 1982
_________. Of Grammatology (trans by. Gayatri Chakravorty Spivak). Baltimore: John Hopkins University Press, 1997
_________. Politics and Friendship (trans by. George Collins). London: Verso, 2005
Lyotard, Jean-Francois. Kondisi Postmodern: Suatu Laporan rnengenai Pengetahuan (terj. Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing, 2009
[1] Jean-Francois Lyotard, Kondisi Postmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan, terj. Dian Vita Ellyati,
(Surabaya: Selasar Surabaya Publishing, 2009), hlm. 91
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid 11: Perancis, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 27
[4] Jacques Derrida, Politics of Friendship, trans by. George Collins, (London: Verso, 2005), hlm. 8
[5] One can love being loved, but loving will always be more, better and something other than being loved. One can love to be loved or to be lovable - but one must first know how to love, and know what loving means by loving. Ibid, Hlm. 11
[7] We had recalled two dimensions in the relation to the other: respect and responsibility. Dalam Ibid, hlm. 381
[9] Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror, terj. Alfons Taryadi, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 188
[11] Pandangan ini sejalan dengan gagasannya tentang teks dalam Of Grammatology yang menyatakan suatu teks tersusun atas jaringan-jaringan. Segala sesuatu rnerupakan teks, maka manusia juga dilihat sebagai teks.
[13] Jacques Derrida, "Animal that Therefore I am (trans by. David Wilts)", Chicago fournals Vol. 28, No. 2, Winter 2002, hlm. 400
[14] As modem structural thought has clearly realized, language is a system of signs and linguistics is part and parcel of the science of signs, or semiotics (Saussure’s semiologie). Dalam Jacques Derrida, Of Grammatology,trans by. Gayatri Chakravorty Spivak, (Baltimore: John Hopkins University Press, 1997), hlm. 83
[15] Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans by. Alan Bass, (Brighton: The Harvester Press Limited, 1982), hlm. 6
[16] if I am to follow this suite then, I move from "the ends of man," that is the confines of man, to ''the crossing of borders" between man and animal. Ibid, hlm. 372
Thursday, 24 August 2017
Filsafat Bahasa: Ludwig von Wittgenstein
Logika Analitis dalam Tractatus Logico-Philosophicus
Konteks Hidup[1]
Ludwig Josef Johann Wittgenstein 1 lahir pada 26 April 1889 di Wina, Austria dari keluarga keturunan Yahudi. Semua anak dari keluarga Wittgenstein termasuk Ludwig memeroleh pendidikan secara homeschooling. Akibatnya, dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke gymnasium (sekolah gramatika) maupun ke realschule (setingkat sekolah menengah). Setelah mencoba beberapa lama, akhirnya ia dapat melewati tes masuk sekolah menengah lokal di Linz.
Setelah lulus dari Linz, Ludwig Wittgenstein melanjutkan ke Sekolah Teknik Berlin-Charlottenburg dan baru tiga pertemuan, ia meninggalkan kuliahnya. Kemudian ia mencoba untuk belajar di Manchester, Inggris untuk bidang matematika dan lalu filsafat. Kedua studinya itu tidak pernah selesai.
Pada 1911, terdorong oleh ketertarikannya pada filsafat matematika dan juga pada tulisan-tulisan Schopenhauer, Wittgenstein menulis surat pada Frege dari Universitas Jena untuk meminta bimbingan. Frege menyarankan agar ia belajar pada Bertrand Russell di Cambridge. Setahun kemudian, Wittgenstein belajar pada Russel. Setahun kemudian, ia meninggalkan Cambridge dan pergi ke Islandia, kemudian Norwegia. Di Norwegia, ia mengajar di sekolah dasar. Di sela-sela aktivitas mengajarnya, ia menulis sebuah buku tentang logika bahasa, yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus (TLP) setebal 75 halaman.
Pada 1914, Perang Dunia I pecah di Eropa dan ia kembali ke Vienna. Segala kegagalan dalam studi membuatnya putus asa dalam hidup. Semua saudaranya meninggal dengan cara bunuh diri. Maka ia pun berpikir untuk melakukan hal yang sama. Namun ia menimbang kembali, jika ia bunuh diri maka akan sangat memalukan, lebih baik meninggal dalam perang. Maka ia memutuskan untuk ikut perang dan minta ditempatkan di garis terdepan agar cepat mati.
Selama Wittgenstein ikut perang, buku TLP diterbitkan dan Russel mencoba menginterpretasi teks ini. Russel juga memberikan kuliah mengenai TLP di beberapa tempat dengan judul kuliah Filsafat Analitis Bahasa Atomisme Logis.
Setelah perang, ternyata Wittgenstein masih tetap hidup. Ia menyatakan kekecewaannya pada interpretasi Russel atas TLP. Pada tahun 1929, TLP diuji di hadapan Russel dan Frege untuk gelar Ph.D, padahal dia tidak pernah menyelesaikan pendidikan setingkat sarjana.
Pada tahun 1945, Wittgenstein ikut perang lagi, kali ini Perang Dunia II. Dalam perang ini, ia ditawan dan masuk penjara. Di dalam penjara ia menulis sebuah buku penting, Philosophical Investigations (PI). Karyanya ini dinilai menegasi TLP karena menolak logika ketat atomisme sebagaimana dipakai oleh TLP. PI memakai metode Filsafat Bahasa Sehari-hari.
Hubungan TLP dengan PI
TLP sering disebut dengan Wittgenstein I (karya Wittgenstein selama periode pertama, yaitu atomisme logis) dan PI sering disebut sebagai Wittgenstein II (karya Wittgenstein pada periode kedua dengan pusat perhatian pada bahasa sehari-hari). Wittgenstein I dan II sering dianggap sebagai 2 pemikiran filosofis yang bertentangan. Kedua karya tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan tetapi saling mendukung. PI merupakan dekonstruksi atas TLP. Jadi, TLP merupakan konstruksi pemikiran filosofis dan PI diperlukan oleh Wittgenstein untuk merekonstruksi pemikirannya. Dialektika Hegel (tesis-antitesis-sintesis) digantikan dengan dialektika post-modern (konstruksi-dekonstruksi-rekonstruksi).
Dekonstruksi merupakan pembongkaran sistem pemikiran yang selama ini tertata dengan cara menunjukkan bahwa sistem itu tidak bisa berjalan dan perlu digantikan dengan sesuatu yang di luar sistem.[2]Sesuatu yang di luar sistem itu pada kelanjutannya akan membentuk sistem baru yang perlu didekonstruksi kembali, begitu seterusnya sehingga tidak pernah selesai.
Pemikiran yang hendak didekonstruksi dari PI adalah mengenai penggunaan kata leksikal dan gramatikal. TLP menggunakan kata-kata leksikal, yaitu kata yang mempunyai rujukan pada hal faktual. Misalnya, penggunaan kata ‘kursi’. Kata tersebut merujuk pada benda yang benar-benar ada. Masalah dalam kata leksikal muncul ketika berhadapan dengan kata yang tidak merujuk pada hal faktual apapun, misalnya kata ‘apa’, ‘tidak’, ‘mungkin’, dan lain-lain. Kata-kata yang tidak merujuk pada hal faktual itu kemudian disebut sebagai kata gramatikal. Fungsinya tidak lebih sebagai penyusun gramatika bahasa dan hanya ada dalam konteks pikiran.
Kata gramatika sangat penting dalam bahasa sehari-hari karena membuat bahasa menjadi hidup. Meskipun kata gramatika tidak menunjuk hal apapun, namun kata gramatika mempunyai kebenaran dan logikanya sendiri dalam apa yang dinamakan permainan bahasa (language games). Dalam konteks ini, PI tidak menegasi TLP. Dalam konteks permainan bahasa, TLP mempunyai logika dan kebenarannya sendiri, demikian juga dengan PI.
Sachverhalten
Kunci untuk membedah TLP adalah Sachverhalten.[3]Sachverhalten merupakan terminologi bahasa Jerman. Ada dua versi terjemahan dalam bahasa Inggris untuk Sachverhalten yaitu atomic fact (fakta atomis) dan state of affair (keadaan, situasi). Yang pertama merupakan terjemahan dari C. K. Odgen, sedangkan yang kedua dari Pears-McGuinness. Terjemahan dari Odgen lebih banyak dipakai karena sifat ilmiahnya dan diterbitkan bersama versi Jermannya dan terjemahan ini juga yang dipakai oleh Bertrand Russel. Namun Wittgenstein sendiri lebih menyetujui terjemahan dari Pears-McGuinness.
Mengapa Wittgenstein menolak fakta atomis? Fakta atomis berkaitan erat dengan fakta fisika. Teori atom menyatakan bahwa setiap benda merupakan suatu kompleksitas partikel-partikel yang tersusun atas bagian terkecil, yaitu atom.[4]Wittgenstein tidak berbicara tentang fakta atomis, tapi fakta logika. Sachen (entitas) dan Dingen (benda yang lebih objektif dan fisik) dalam TLP 2.01 menunjukkan maksud Wittgenstein tersebut. Fakta logika tidak melulu fisik (Dingen) akan tetapi juga non-fisik (Sachen). Meskipun demikian, Sachverhalten bukanlah Sachen maupun Dingen. Sachverhaltenseringkali diinterpretasi secara salah sebagai bagian terkecil (atom) dari Sachen atau Dingen. Jika Sachverhaltenitu atom, maka ia bersifat simpleks, padahal ia bersifat kompleks. Kompleksitas Sachverhalten meliputi Sachen dan Dingen dan juga kombinasi keduanya. Sachverhalten bisa diibaratkan nada dasar dalam sebuah lagu, bukan salah satu dari nada. Sachverhaltenmerupakan nada dasar dari TLP.
Sangat rumit untuk menjelaskan arti Sachverhalten. Pasalnya, Wittgenstein juga memakai terminologi Tatsachen dan Sachlage yang artinya sama dengan Sachverhalten, namun Wittgenstein menggunakan ketiga terminologi itu secara berbeda:
Die Welt zerfallt in Tatsachen(Dunia terbagi ke dalam Tatsache)[5]
Was der Fall ist, die Tatsache, ist das Bestehen von Sachverhalten (Apa yang merupakan perkara, Tatsache, adalah eksistensi dari Sachverhalten)[6]
Perhatikan pula tulisan di bawah ini:
Es erschiene gleichsam als Zufall, wenn dem Ding, das allein fur sich bestehen konnte, nach-traglich eine Sachlage passen wurde. Wenn die Dinge in Sachverhalten vorkommen konnen, so muss dies schon in ihnen liegen. (Etwas Logisches kann nicht nur-moglich sein. Die Logik handelt von jeder Moglichkeit and alle Moglichkeiten sind ihre Tatsachen) (Hal tersebut muncul sebagai aksiden, ketika suatu hal yang hanya bisa ada dengan suatu sebab, sehingga Sachlageakan sesuai. Jika hal-hal dapat terjadi dalam Sachverhalten, kemungkinan ini harus sudah termaktub di dalamnya. (Sebuah entitas logis tidak bisa hanya menjadi-mungkin. Logika menguji setiap kemungkinan dan segala kemungkinan adalah Tatsachen-nya)[7]
Sachverhalten merupakan poros dalam Tatsachen-Sachverhalten-Sachlage. Hal ini
dapat dipahami dengan memperhatikan dalam deret matematis:
Sachverhalten menempati bilangan nol, sebelah kiri dan kanannya terdapat Tatsachen dan Sachlage. Di dalam Sachverhalten itulah letak perkaranya.[8]
Dalam konteks ini, TLP 1[9] dapat dijelaskan. Bilangan nol menjadi perkara di antara bilangan positif dan negatif. Benar bagi negatif, merupakan salah bagi positif, begitu juga sebaliknya. Nol (Sachverhalten)bagaikan hakim yang berada di antara dua kepentingan.
Kebenaran bukanlah bilangan positif, negatif, atau bahkan nol. Wittgenstein merumuskan kebenaran logis-analitis dalam fungsi kebenaran. Kebenaran suatu fungsi ditentukan oleh peubah (variable) yang menyusunnya. Misalnya, f(x) = x + 1, maka kebenaran fungsi x bisa 2 (jika x = 1) atau 20 (jika x = 19) atau bahkan -1 (jika x = -2) dan seterusnya.
Metafora dan Simile
Tractatus Logicus philosicus dibuka dengan kalimat Die Welt ist alles, was der Fall ist (dunia adalah segala sesuatu yang adalah perkara).[10]Apa maksud perkataan ini? Apakah Wittgenstein hendak memberi definisi tentang dunia? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab tanpa memahami Kej 1:26 (Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita).
Wittgenstein membedakan antara gambar dan rupa. Kej 1:26 menimbulkan persoalan, apakah manusia itu gambaran Allah atau serupa dengan Allah (seperti Allah). Jika dua hal segambar, maka dari dua hal itu ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Jika dua hal dinyatakan serupa, maka dua hal itu tidak bisa dikatakan sama persis, namun kesamaannya lebih mendekati daripada dinyatakan sebagai segambar. Menyamakan dua hal yang berbeda itu sama artinya dengan memberi definisi.
Jika dilihat dalam konteks Sachverhalten, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi merupakan milik fakta fisika, bukan atomis. Wittgenstein mengatakan, “Jika tanda dan apa yang ditandakan tidak identik dalam kaitan total logical content mereka, maka mungkin masih ada yang lebih mendasar daripada logika.”[11]
Inilah realisme murni yang dibawa oleh Wittgenstein, yaitu konsep identitas. Definisi berbeda dari konsep identitas. Secara matematis, definisi ditulis dalam notasi a = b (a didefinisikan sebagai b), sedangkan identitas dinotasikan a ≡ a (jika a maka a). Frege agak keberatan dengan notasi Wittgenstein. Notasi a = b lebih bermakna daripada a ≡ a. Misalnya, pernyataan manusia adalah hewan yang berakal budi lebih bermakna daripada jika manusia, maka itu adalah manusia. Namun masalah akan timbul ketika definisi dipakai dalam fungsi kebenaran:
Maka, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi itu tidak ada. Yang ada adalah metafora. Segala sesuatu yang kelihatannya definisi sebenarnya adalah metafora. Definisi manusia adalah hewan yang berakal budi merupakan metafora. Sedangkan pernyataan manusia seperti hewan merupakan simile. Gambar dan rupa dalam Kej 1:26 harus dipahami sebagai metafora dan simile, bukan definisi.
Setiap metafora memiliki locus dan focus. Tujuh metafora dalam TLP juga tersusun dalam kerangka locus-focustersebut:
Definisi terdiri atas definiens dan definiendum. Apa yang disebut sebagai definiens sebetulnya adalah locus dan apa yang disebut definiendum adalah focus. Locus digambarkan dalam focus, akan tetapi focus bukanlah locus. Misalnya dalam metafora bilangan prima (locus) adalah bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri (focus). Dalam metafora tersebut, bilangan prima digambarkan dalam bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri, akan tetapi bilangan prima tidak sama dengan bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri.
Proposisi
Wittgenstein memberi 2 proposisi, yaitu p dan q. Kedua proposisi itu dapat dibayangkan menjadi bentuk 1 dimensi:
Dari 1 dimensi kemudian dikembangkan menjadi 2 dimensi:
Proposisi p dan q dalam 2 dimensi itu lalu dihubungkan sehingga menjadi 3 dimensi[12]:
Sekarang Wittgenstein mempunyai 16 proposisi[13]:
Keenambelas proposisi di atas merupakan kemungkinan-kemungkinan logis dari dua proposisi elementer (p,q). Kemungkinan logis tersebut ternyata simetris pada garis di antara SBBS dan BSSB. Dengan demikian, masing-masing memiliki pasangannya sendiri sedemikian sehingga p dan N(p) ≡ q ; q dan N(q) ≡ p. Pertemuan antara p dan q berada di pRq (p berhubungan dengan q) dan bermuara di titik nol.
Kebenaran tidak dapat diketahui. Kemungkinan besar, kebenaran ada di R yang disebut dalam TLP 1 merupakan perkara. Proposisi p mempunyai kebenarannya sendiri, demikian juga proposisi q juga punya kebenarannya sendiri, tergantung bagaimana melihatnya, mana yang dianggap sebagai focusdan locus. Hanya R yang memiliki kebenaran objektif.
Segala yang ada dalam dunia ini harus diperiksa nilai kebenarannya. Cara memeriksanya adalah dengan menggunakan fungsi kebenaran karena semuanya termanifestasi dalam proposisi. Penggunaannya mungkin rumit karena masing-masing mempunyai nilai kebenaran subjektif. Akan tetapi, ketika memosisikan diri di R (nol), maka pencariannya akan lebih mudah.
Kesimpulan dan Kontekstualisasi
Wittgenstein termasuk dalam kalangan filosof analitis bahasa. Uraian filosofisnya dalam TLP menggunakan logika matematika (ada yang mengatakan Wittgenstein menggunakan mistisisme Yahudi pula). TLP bukanlah buku diktat (tractaat) yang digunakan untuk belajar filsafat. TLP merupakan buku yang harus dinikmati. Ketika seseorang bisa menikmati TLP dan merasakannya sebagai kontemplasi, maka tujuan penulisan TLP tercapai. TLP sebagai kontemplasi bukan merupakan karya metafisika. Wittgenstein mengikuti aliran realisme murni, yang mana metafisika merupakan simile saja karena apriori itu semu saja.[14]
Klaim kebenaran tidak mungkin dilakukan karena segala yang ada di dunia ini adalah proposisi dan disertai kasus di dalam nada dasar Sachverhalten. Dalam pengantar TLP, Wittgenstein mengatakan,”Die Logik muss fur sich selber sorgen (Logika harus sadar diri)”. Logika atau filsafat harus tahu batas-batas mengenai hal-hal apa yang bisa dicari kebenarannya dan apa yang tidak. Wittgenstein tidak berbicara tentang kebenaran subjektif atau objektif. Kebenaran subjektif bisa dikaitkan dengan subjek. Namun ketika terjadi relasi subjek-subjek, maka keduanya merupakan proposisi yang memiliki tanggung jawab etis (objek tidak memiliki tanggung jawab etis).
Kebenaran dalam suatu subjek dikatakan sebagai proposisi ‘p’ sedangkan kebenaran di seberangnya disebut proposisi ‘q’. ‘R’ menempati ruang di antara ‘p’ dan ‘q’. Benar bagi ‘p’ (+) adalah (≡) salah bagi ‘q’ (-), begitu juga sebaliknya. ‘R’ sebagai hakim yang menempati nol bisa menguraikan kebenaran dengan menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran.[15]
Dengan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran, setiap pertentangan bisa diurai secara lebih jelas. Meskipun logika memang tidak bisa mencapai kebenaran sejati, paling tidak proposisinya terlihat dan masing-masing orang bisa menilai kebenarannya. Misalnya dalam kasus penistaan lambang negara (Pancasila) oleh Habib Rizieq. Kasus itu bisa diurai demikian:
Hakim harus bisa melihat segala argumen ‘a’ pada N(a) dan argumen ‘b’ pada N(b). Dalam aRb, terlihatlah seluruh N(a), yaitu apa yang dikatakan sekaligus apa yang dapat ditunjukkan, demikian juga dalam N(b). Hakim sebagai yang mempunyai N(ξ) dapat menunjukkan kebenaran dan semua apa yang mungkin sebagai kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia sebenarnya merupakan hakim atas setiap informasi yang beredar. Setiap informasi tidak bisa langsung dipercaya kebenarannya. Ada yang namanya berita hoax dan ada pula berita faktual. Setiap orang bisa menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran untuk membedakan mana yang hoax dan mana yang faktual. Posisi nol (R) adalah posisi di mana fungsi kebenaran dan operasi kebenaran dapat digunakan. Ketika orang jatuh pada posisi ‘p’ atau ‘q’, maka ia tidak bisa melihat duduk perkaranya N(ξ) secara jelas. Se-faktual apapun argumen ‘q’, pihak ‘p’ tidak akan menerimanya sebagai kebenaran. Seperti kelompok radikal akan terus mengikuti habibnya, meskipun apa yang dikatakan habib itu melanggar hukum ataupun tidak benar secara logis maupun moral.
TLP ditutup dengan diam. Demikian juga hendaknya orang yang hendak memosisikan diri di nol, jika tidak memiliki N(ξ) lebih baik diam. Diam bukan berarti pasif atau tak acuh. Diam adalah suatu disposisi kontemplatif yang berarti melihat dengan penuh perhatian sambil menikmati apa yang dilihat sampai kebenaran itu dicecap.
[1] Konteks hidup berdasarkan A. C. Grayling. Wittgenstein, A Very Short Introduction. Oxford: OxfordUniversity Press, 1996
[2] Bdk. Daniel D. Hutto. Wittgenstein and the End of Philosophy, Neither Theory nor Therapy. New York: Palgrave MacMillan, 2003. Hlm. 172
[4] Serway Jewett. Physics for Scientists and Engineers, 6 th Edition. Pomona: Thomson Broks, 2004. Hlm. 1093
[8] Alfred Nordmann. Wittgenstein’s Tractatus, An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Hlm. 108
[11] If sign and thing signified were more identical in respect to their total logical content then there would have
to be something still more fundamental than logic dalam Ludwig Wittgenstein. Notebooks 1914-1916. Chicago: Chicago University Press. Hlm 4e
[15] Operasi kebenaran itu misalnya a2 x a3 ≡ a2+3 ≡ a5 , pembuktiannya: a2 ≡ a x a; a3 ≡ a x a x a; a2 x a3 ≡ a x a x a x a x a ≡ a5 ; selain itu, dikenal pula bahwa jika a ≡ 2, maka a2 ≡ 4; akan tetapi jika a2 ≡ 4, maka a ≡ 2 adalah salahkarena bisa saja a ≡ -2
Subscribe to:
Posts (Atom)