Thursday, 24 August 2017

Filsafat Bahasa: Ludwig von Wittgenstein

Logika Analitis dalam Tractatus Logico-Philosophicus




Konteks Hidup[1]

Ludwig Josef Johann Wittgenstein 1 lahir pada 26 April 1889 di Wina, Austria dari keluarga keturunan Yahudi. Semua anak dari keluarga Wittgenstein termasuk Ludwig memeroleh pendidikan secara homeschooling. Akibatnya, dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke gymnasium (sekolah gramatika) maupun ke realschule (setingkat sekolah menengah). Setelah mencoba beberapa lama, akhirnya ia dapat melewati tes masuk sekolah menengah lokal di Linz.
Setelah lulus dari Linz, Ludwig Wittgenstein melanjutkan ke Sekolah Teknik Berlin-Charlottenburg dan baru tiga pertemuan, ia meninggalkan kuliahnya. Kemudian ia mencoba untuk belajar di Manchester, Inggris untuk bidang matematika dan lalu filsafat. Kedua studinya itu tidak pernah selesai.
Pada 1911, terdorong oleh ketertarikannya pada filsafat matematika dan juga pada tulisan-tulisan Schopenhauer, Wittgenstein menulis surat pada Frege dari Universitas Jena untuk meminta bimbingan. Frege menyarankan agar ia belajar pada Bertrand Russell di Cambridge. Setahun kemudian, Wittgenstein belajar pada Russel. Setahun kemudian, ia meninggalkan Cambridge dan pergi ke Islandia, kemudian Norwegia. Di Norwegia, ia mengajar di sekolah dasar. Di sela-sela aktivitas mengajarnya, ia menulis sebuah buku tentang logika bahasa, yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus (TLP) setebal 75 halaman.
Pada 1914, Perang Dunia I pecah di Eropa dan ia kembali ke Vienna. Segala kegagalan dalam studi membuatnya putus asa dalam hidup. Semua saudaranya meninggal dengan cara bunuh diri. Maka ia pun berpikir untuk melakukan hal yang sama. Namun ia menimbang kembali, jika ia bunuh diri maka akan sangat memalukan, lebih baik meninggal dalam perang. Maka ia memutuskan untuk ikut perang dan minta ditempatkan di garis terdepan agar cepat mati.
Selama Wittgenstein ikut perang, buku TLP diterbitkan dan Russel mencoba menginterpretasi teks ini. Russel juga memberikan kuliah mengenai TLP di beberapa tempat dengan judul kuliah Filsafat Analitis Bahasa Atomisme Logis.
Setelah perang, ternyata Wittgenstein masih tetap hidup. Ia menyatakan kekecewaannya pada interpretasi Russel atas TLP. Pada tahun 1929, TLP diuji di hadapan Russel dan Frege untuk gelar Ph.D, padahal dia tidak pernah menyelesaikan pendidikan setingkat sarjana.
Pada tahun 1945, Wittgenstein ikut perang lagi, kali ini Perang Dunia II. Dalam perang ini, ia ditawan dan masuk penjara. Di dalam penjara ia menulis sebuah buku penting, Philosophical Investigations (PI). Karyanya ini dinilai menegasi TLP karena menolak logika ketat atomisme sebagaimana dipakai oleh TLP. PI memakai metode Filsafat Bahasa Sehari-hari.



Hubungan TLP dengan PI

TLP sering disebut dengan Wittgenstein I (karya Wittgenstein selama periode pertama, yaitu atomisme logis) dan PI sering disebut sebagai Wittgenstein II (karya Wittgenstein pada periode kedua dengan pusat perhatian pada bahasa sehari-hari). Wittgenstein I dan II sering dianggap sebagai 2 pemikiran filosofis yang bertentangan. Kedua karya tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan tetapi saling mendukung. PI merupakan dekonstruksi atas TLP. Jadi, TLP merupakan konstruksi pemikiran filosofis dan PI diperlukan oleh Wittgenstein untuk merekonstruksi pemikirannya. Dialektika Hegel (tesis-antitesis-sintesis) digantikan dengan dialektika post-modern (konstruksi-dekonstruksi-rekonstruksi).
Dekonstruksi merupakan pembongkaran sistem pemikiran yang selama ini tertata dengan cara menunjukkan bahwa sistem itu tidak bisa berjalan dan perlu digantikan dengan sesuatu yang di luar sistem.[2]Sesuatu yang di luar sistem itu pada kelanjutannya akan membentuk sistem baru yang perlu didekonstruksi kembali, begitu seterusnya sehingga tidak pernah selesai.
Pemikiran yang hendak didekonstruksi dari PI adalah mengenai penggunaan kata leksikal dan gramatikal. TLP menggunakan kata-kata leksikal, yaitu kata yang mempunyai rujukan pada hal faktual. Misalnya, penggunaan kata ‘kursi’. Kata tersebut merujuk pada benda yang benar-benar ada. Masalah dalam kata leksikal muncul ketika berhadapan dengan kata yang tidak merujuk pada hal faktual apapun, misalnya kata ‘apa’, ‘tidak’, ‘mungkin’, dan lain-lain. Kata-kata yang tidak merujuk pada hal faktual itu kemudian disebut sebagai kata gramatikal. Fungsinya tidak lebih sebagai penyusun gramatika bahasa dan hanya ada dalam konteks pikiran.
Kata gramatika sangat penting dalam bahasa sehari-hari karena membuat bahasa menjadi hidup. Meskipun kata gramatika tidak menunjuk hal apapun, namun kata gramatika mempunyai kebenaran dan logikanya sendiri dalam apa yang dinamakan permainan bahasa (language games). Dalam konteks ini, PI tidak menegasi TLP. Dalam konteks permainan bahasa, TLP mempunyai logika dan kebenarannya sendiri, demikian juga dengan PI.



Sachverhalten

Kunci untuk membedah TLP adalah Sachverhalten.[3]Sachverhalten merupakan terminologi bahasa Jerman. Ada dua versi terjemahan dalam bahasa Inggris untuk Sachverhalten yaitu atomic fact (fakta atomis) dan state of affair (keadaan, situasi). Yang pertama merupakan terjemahan dari C. K. Odgen, sedangkan yang kedua dari Pears-McGuinness. Terjemahan dari Odgen lebih banyak dipakai karena sifat ilmiahnya dan diterbitkan bersama versi Jermannya dan terjemahan ini juga yang dipakai oleh Bertrand Russel. Namun Wittgenstein sendiri lebih menyetujui terjemahan dari Pears-McGuinness.
Mengapa Wittgenstein menolak fakta atomis? Fakta atomis berkaitan erat dengan fakta fisika. Teori atom menyatakan bahwa setiap benda merupakan suatu kompleksitas partikel-partikel yang tersusun atas bagian terkecil, yaitu atom.[4]Wittgenstein tidak berbicara tentang fakta atomis, tapi fakta logika. Sachen (entitas) dan Dingen (benda yang lebih objektif dan fisik) dalam TLP 2.01 menunjukkan maksud Wittgenstein tersebut. Fakta logika tidak melulu fisik (Dingen) akan tetapi juga non-fisik (Sachen). Meskipun demikian, Sachverhalten bukanlah Sachen maupun Dingen. Sachverhaltenseringkali diinterpretasi secara salah sebagai bagian terkecil (atom) dari Sachen atau Dingen. Jika Sachverhaltenitu atom, maka ia bersifat simpleks, padahal ia bersifat kompleks. Kompleksitas Sachverhalten meliputi Sachen dan Dingen dan juga kombinasi keduanya. Sachverhalten bisa diibaratkan nada dasar dalam sebuah lagu, bukan salah satu dari nada. Sachverhaltenmerupakan nada dasar dari TLP.
Sangat rumit untuk menjelaskan arti Sachverhalten. Pasalnya, Wittgenstein juga memakai terminologi Tatsachen dan Sachlage yang artinya sama dengan Sachverhalten, namun Wittgenstein menggunakan ketiga terminologi itu secara berbeda:

Die Welt zerfallt in Tatsachen(Dunia terbagi ke dalam Tatsache)[5]
Was der Fall ist, die Tatsache, ist das Bestehen von Sachverhalten (Apa yang merupakan perkara, Tatsache, adalah eksistensi dari Sachverhalten)[6]

Perhatikan pula tulisan di bawah ini:
Es erschiene gleichsam als Zufall, wenn dem Ding, das allein fur sich bestehen konnte, nach-traglich eine Sachlage passen wurde. Wenn die Dinge in Sachverhalten vorkommen konnen, so muss dies schon in ihnen liegen. (Etwas Logisches kann nicht nur-moglich sein. Die Logik handelt von jeder Moglichkeit and alle Moglichkeiten sind ihre Tatsachen) (Hal tersebut muncul sebagai aksiden, ketika suatu hal yang hanya bisa ada dengan suatu sebab, sehingga Sachlageakan sesuai. Jika hal-hal dapat terjadi dalam Sachverhalten, kemungkinan ini harus sudah termaktub di dalamnya. (Sebuah entitas logis tidak bisa hanya menjadi-mungkin. Logika menguji setiap kemungkinan dan segala kemungkinan adalah Tatsachen-nya)[7]
Sachverhalten merupakan poros dalam Tatsachen-Sachverhalten-Sachlage. Hal ini
dapat dipahami dengan memperhatikan dalam deret matematis:


Sachverhalten menempati bilangan nol, sebelah kiri dan kanannya terdapat Tatsachen dan Sachlage. Di dalam Sachverhalten itulah letak perkaranya.[8]
Dalam konteks ini, TLP 1[9] dapat dijelaskan. Bilangan nol menjadi perkara di antara bilangan positif dan negatif. Benar bagi negatif, merupakan salah bagi positif, begitu juga sebaliknya. Nol (Sachverhalten)bagaikan hakim yang berada di antara dua kepentingan.
Kebenaran bukanlah bilangan positif, negatif, atau bahkan nol. Wittgenstein merumuskan kebenaran logis-analitis dalam fungsi kebenaran. Kebenaran suatu fungsi ditentukan oleh peubah (variable) yang menyusunnya. Misalnya, f(x) = x + 1, maka kebenaran fungsi x bisa 2 (jika x = 1) atau 20 (jika x = 19) atau bahkan -1 (jika x = -2) dan seterusnya.



Metafora dan Simile

Tractatus Logicus philosicus dibuka dengan kalimat Die Welt ist alles, was der Fall ist (dunia adalah segala sesuatu yang adalah perkara).[10]Apa maksud perkataan ini? Apakah Wittgenstein hendak memberi definisi tentang dunia? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab tanpa memahami Kej 1:26 (Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita).
Wittgenstein membedakan antara gambar dan rupa. Kej 1:26 menimbulkan persoalan, apakah manusia itu gambaran Allah atau serupa dengan Allah (seperti Allah). Jika dua hal segambar, maka dari dua hal itu ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Jika dua hal dinyatakan serupa, maka dua hal itu tidak bisa dikatakan sama persis, namun kesamaannya lebih mendekati daripada dinyatakan sebagai segambar. Menyamakan dua hal yang berbeda itu sama artinya dengan memberi definisi.
Jika dilihat dalam konteks Sachverhalten, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi merupakan milik fakta fisika, bukan atomis. Wittgenstein mengatakan, “Jika tanda dan apa yang ditandakan tidak identik dalam kaitan total logical content mereka, maka mungkin masih ada yang lebih mendasar daripada logika.”[11]
Inilah realisme murni yang dibawa oleh Wittgenstein, yaitu konsep identitas. Definisi berbeda dari konsep identitas. Secara matematis, definisi ditulis dalam notasi a = b (a didefinisikan sebagai b), sedangkan identitas dinotasikan a ≡ a (jika a maka a). Frege agak keberatan dengan notasi Wittgenstein. Notasi a = b lebih bermakna daripada a ≡ a. Misalnya, pernyataan manusia adalah hewan yang berakal budi lebih bermakna daripada jika manusia, maka itu adalah manusia. Namun masalah akan timbul ketika definisi dipakai dalam fungsi kebenaran:



Maka, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi itu tidak ada. Yang ada adalah metafora. Segala sesuatu yang kelihatannya definisi sebenarnya adalah metafora. Definisi manusia adalah hewan yang berakal budi merupakan metafora. Sedangkan pernyataan manusia seperti hewan merupakan simile. Gambar dan rupa dalam Kej 1:26 harus dipahami sebagai metafora dan simile, bukan definisi.
Setiap metafora memiliki locus dan focus. Tujuh metafora dalam TLP juga tersusun dalam kerangka locus-focustersebut:


Definisi terdiri atas definiens dan definiendum. Apa yang disebut sebagai definiens sebetulnya adalah locus dan apa yang disebut definiendum adalah focus. Locus digambarkan dalam focus, akan tetapi focus bukanlah locus. Misalnya dalam metafora bilangan prima (locus) adalah bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri (focus). Dalam metafora tersebut, bilangan prima digambarkan dalam bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri, akan tetapi bilangan prima tidak sama dengan bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri.



Proposisi

Wittgenstein memberi 2 proposisi, yaitu p dan q. Kedua proposisi itu dapat dibayangkan menjadi bentuk 1 dimensi:



Dari 1 dimensi kemudian dikembangkan menjadi 2 dimensi:


  
Proposisi p dan q dalam 2 dimensi itu lalu dihubungkan sehingga menjadi 3 dimensi[12]:



Sekarang Wittgenstein mempunyai 16 proposisi[13]:


Keenambelas proposisi di atas merupakan kemungkinan-kemungkinan logis dari dua proposisi elementer (p,q). Kemungkinan logis tersebut ternyata simetris pada garis di antara SBBS dan BSSB. Dengan demikian, masing-masing memiliki pasangannya sendiri sedemikian sehingga p dan N(p) ≡ q ; q dan N(q) ≡ p. Pertemuan antara p dan q berada di pRq (p berhubungan dengan q) dan bermuara di titik nol.
Kebenaran tidak dapat diketahui. Kemungkinan besar, kebenaran ada di R yang disebut dalam TLP 1 merupakan perkara. Proposisi p mempunyai kebenarannya sendiri, demikian juga proposisi q juga punya kebenarannya sendiri, tergantung bagaimana melihatnya, mana yang dianggap sebagai focusdan locus. Hanya R yang memiliki kebenaran objektif.
Segala yang ada dalam dunia ini harus diperiksa nilai kebenarannya. Cara memeriksanya adalah dengan menggunakan fungsi kebenaran karena semuanya termanifestasi dalam proposisi. Penggunaannya mungkin rumit karena masing-masing mempunyai nilai kebenaran subjektif. Akan tetapi, ketika memosisikan diri di R (nol), maka pencariannya akan lebih mudah.

Kesimpulan dan Kontekstualisasi
Wittgenstein termasuk dalam kalangan filosof analitis bahasa. Uraian filosofisnya dalam TLP menggunakan logika matematika (ada yang mengatakan Wittgenstein menggunakan mistisisme Yahudi pula). TLP bukanlah buku diktat (tractaat) yang digunakan untuk belajar filsafat. TLP merupakan buku yang harus dinikmati. Ketika seseorang bisa menikmati TLP dan merasakannya sebagai kontemplasi, maka tujuan penulisan TLP tercapai. TLP sebagai kontemplasi bukan merupakan karya metafisika. Wittgenstein mengikuti aliran realisme murni, yang mana metafisika merupakan simile saja karena apriori itu semu saja.[14]
Klaim kebenaran tidak mungkin dilakukan karena segala yang ada di dunia ini adalah proposisi dan disertai kasus di dalam nada dasar Sachverhalten. Dalam pengantar TLP, Wittgenstein mengatakan,”Die Logik muss fur sich selber sorgen (Logika harus sadar diri)”. Logika atau filsafat harus tahu batas-batas mengenai hal-hal apa yang bisa dicari kebenarannya dan apa yang tidak. Wittgenstein tidak berbicara tentang kebenaran subjektif atau objektif. Kebenaran subjektif bisa dikaitkan dengan subjek. Namun ketika terjadi relasi subjek-subjek, maka keduanya merupakan proposisi yang memiliki tanggung jawab etis (objek tidak memiliki tanggung jawab etis).
Kebenaran dalam suatu subjek dikatakan sebagai proposisi ‘p’ sedangkan kebenaran di seberangnya disebut proposisi ‘q’. ‘R’ menempati ruang di antara ‘p’ dan ‘q’. Benar bagi ‘p’ (+) adalah (≡) salah bagi ‘q’ (-), begitu juga sebaliknya. ‘R’ sebagai hakim yang menempati nol bisa menguraikan kebenaran dengan menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran.[15]
Dengan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran, setiap pertentangan bisa diurai secara lebih jelas. Meskipun logika memang tidak bisa mencapai kebenaran sejati, paling tidak proposisinya terlihat dan masing-masing orang bisa menilai kebenarannya. Misalnya dalam kasus penistaan lambang negara (Pancasila) oleh Habib Rizieq. Kasus itu bisa diurai demikian:



Hakim harus bisa melihat segala argumen ‘a’ pada N(a) dan argumen ‘b’ pada N(b). Dalam aRb, terlihatlah seluruh N(a), yaitu apa yang dikatakan sekaligus apa yang dapat ditunjukkan, demikian juga dalam N(b). Hakim sebagai yang mempunyai N(ξ) dapat menunjukkan kebenaran dan semua apa yang mungkin sebagai kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia sebenarnya merupakan hakim atas setiap informasi yang beredar. Setiap informasi tidak bisa langsung dipercaya kebenarannya. Ada yang namanya berita hoax dan ada pula berita faktual. Setiap orang bisa menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran untuk membedakan mana yang hoax dan mana yang faktual. Posisi nol (R) adalah posisi di mana fungsi kebenaran dan operasi kebenaran dapat digunakan. Ketika orang jatuh pada posisi ‘p’ atau ‘q’, maka ia tidak bisa melihat duduk perkaranya N(ξ) secara jelas. Se-faktual apapun argumen ‘q’, pihak ‘p’ tidak akan menerimanya sebagai kebenaran. Seperti kelompok radikal akan terus mengikuti habibnya, meskipun apa yang dikatakan habib itu melanggar hukum ataupun tidak benar secara logis maupun moral.
TLP ditutup dengan diam. Demikian juga hendaknya orang yang hendak memosisikan diri di nol, jika tidak memiliki N(ξ) lebih baik diam. Diam bukan berarti pasif atau tak acuh. Diam adalah suatu disposisi kontemplatif yang berarti melihat dengan penuh perhatian sambil menikmati apa yang dilihat sampai kebenaran itu dicecap.



[1] Konteks hidup berdasarkan A. C. Grayling. Wittgenstein, A Very Short Introduction. Oxford: OxfordUniversity Press, 1996
[2] Bdk. Daniel D. Hutto. Wittgenstein and the End of Philosophy, Neither Theory nor Therapy. New York: Palgrave MacMillan, 2003. Hlm. 172
[3] Der Sachverhalt ist eine Verbindung von Gegenständen. (Sachen, Dingen) dalam TLP 2.01
[4] Serway Jewett. Physics for Scientists and Engineers, 6 th Edition. Pomona: Thomson Broks, 2004. Hlm. 1093
[5] TLP 1.2
[6] TLP 2
[7] TLP 2.0121
[8] Alfred Nordmann. Wittgenstein’s Tractatus, An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Hlm. 108
[9] Die Welt ist alles, was der Fall ist (Dunia adalah segala sesuatu yang adalah perkara)
[10] Terjemahan bahasa Inggrisnya, the world is everything that is case
[11] If sign and thing signified were more identical in respect to their total logical content then there would have
to be something still more fundamental than logic dalam Ludwig Wittgenstein. Notebooks 1914-1916. Chicago: Chicago University Press. Hlm 4e
[12] TLP 5.55423
[13] Bdk. TLP 5.101
[14] TLP 5.633-5.641
[15] Operasi kebenaran itu misalnya a2 x a3 ≡ a2+3 ≡ a5 , pembuktiannya: a2 ≡ a x a; a3 ≡ a x a x a; a2 x a3 ≡ a x a x a x a x a ≡ a5 ; selain itu, dikenal pula bahwa jika a ≡ 2, maka a2 ≡ 4; akan tetapi jika a2 ≡ 4, maka a ≡ 2 adalah salahkarena bisa saja a ≡ -2

No comments:

Post a Comment