Thursday, 24 August 2017

Filsafat Bahasa: Ludwig von Wittgenstein

Logika Analitis dalam Tractatus Logico-Philosophicus




Konteks Hidup[1]

Ludwig Josef Johann Wittgenstein 1 lahir pada 26 April 1889 di Wina, Austria dari keluarga keturunan Yahudi. Semua anak dari keluarga Wittgenstein termasuk Ludwig memeroleh pendidikan secara homeschooling. Akibatnya, dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke gymnasium (sekolah gramatika) maupun ke realschule (setingkat sekolah menengah). Setelah mencoba beberapa lama, akhirnya ia dapat melewati tes masuk sekolah menengah lokal di Linz.
Setelah lulus dari Linz, Ludwig Wittgenstein melanjutkan ke Sekolah Teknik Berlin-Charlottenburg dan baru tiga pertemuan, ia meninggalkan kuliahnya. Kemudian ia mencoba untuk belajar di Manchester, Inggris untuk bidang matematika dan lalu filsafat. Kedua studinya itu tidak pernah selesai.
Pada 1911, terdorong oleh ketertarikannya pada filsafat matematika dan juga pada tulisan-tulisan Schopenhauer, Wittgenstein menulis surat pada Frege dari Universitas Jena untuk meminta bimbingan. Frege menyarankan agar ia belajar pada Bertrand Russell di Cambridge. Setahun kemudian, Wittgenstein belajar pada Russel. Setahun kemudian, ia meninggalkan Cambridge dan pergi ke Islandia, kemudian Norwegia. Di Norwegia, ia mengajar di sekolah dasar. Di sela-sela aktivitas mengajarnya, ia menulis sebuah buku tentang logika bahasa, yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus (TLP) setebal 75 halaman.
Pada 1914, Perang Dunia I pecah di Eropa dan ia kembali ke Vienna. Segala kegagalan dalam studi membuatnya putus asa dalam hidup. Semua saudaranya meninggal dengan cara bunuh diri. Maka ia pun berpikir untuk melakukan hal yang sama. Namun ia menimbang kembali, jika ia bunuh diri maka akan sangat memalukan, lebih baik meninggal dalam perang. Maka ia memutuskan untuk ikut perang dan minta ditempatkan di garis terdepan agar cepat mati.
Selama Wittgenstein ikut perang, buku TLP diterbitkan dan Russel mencoba menginterpretasi teks ini. Russel juga memberikan kuliah mengenai TLP di beberapa tempat dengan judul kuliah Filsafat Analitis Bahasa Atomisme Logis.
Setelah perang, ternyata Wittgenstein masih tetap hidup. Ia menyatakan kekecewaannya pada interpretasi Russel atas TLP. Pada tahun 1929, TLP diuji di hadapan Russel dan Frege untuk gelar Ph.D, padahal dia tidak pernah menyelesaikan pendidikan setingkat sarjana.
Pada tahun 1945, Wittgenstein ikut perang lagi, kali ini Perang Dunia II. Dalam perang ini, ia ditawan dan masuk penjara. Di dalam penjara ia menulis sebuah buku penting, Philosophical Investigations (PI). Karyanya ini dinilai menegasi TLP karena menolak logika ketat atomisme sebagaimana dipakai oleh TLP. PI memakai metode Filsafat Bahasa Sehari-hari.



Hubungan TLP dengan PI

TLP sering disebut dengan Wittgenstein I (karya Wittgenstein selama periode pertama, yaitu atomisme logis) dan PI sering disebut sebagai Wittgenstein II (karya Wittgenstein pada periode kedua dengan pusat perhatian pada bahasa sehari-hari). Wittgenstein I dan II sering dianggap sebagai 2 pemikiran filosofis yang bertentangan. Kedua karya tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan tetapi saling mendukung. PI merupakan dekonstruksi atas TLP. Jadi, TLP merupakan konstruksi pemikiran filosofis dan PI diperlukan oleh Wittgenstein untuk merekonstruksi pemikirannya. Dialektika Hegel (tesis-antitesis-sintesis) digantikan dengan dialektika post-modern (konstruksi-dekonstruksi-rekonstruksi).
Dekonstruksi merupakan pembongkaran sistem pemikiran yang selama ini tertata dengan cara menunjukkan bahwa sistem itu tidak bisa berjalan dan perlu digantikan dengan sesuatu yang di luar sistem.[2]Sesuatu yang di luar sistem itu pada kelanjutannya akan membentuk sistem baru yang perlu didekonstruksi kembali, begitu seterusnya sehingga tidak pernah selesai.
Pemikiran yang hendak didekonstruksi dari PI adalah mengenai penggunaan kata leksikal dan gramatikal. TLP menggunakan kata-kata leksikal, yaitu kata yang mempunyai rujukan pada hal faktual. Misalnya, penggunaan kata ‘kursi’. Kata tersebut merujuk pada benda yang benar-benar ada. Masalah dalam kata leksikal muncul ketika berhadapan dengan kata yang tidak merujuk pada hal faktual apapun, misalnya kata ‘apa’, ‘tidak’, ‘mungkin’, dan lain-lain. Kata-kata yang tidak merujuk pada hal faktual itu kemudian disebut sebagai kata gramatikal. Fungsinya tidak lebih sebagai penyusun gramatika bahasa dan hanya ada dalam konteks pikiran.
Kata gramatika sangat penting dalam bahasa sehari-hari karena membuat bahasa menjadi hidup. Meskipun kata gramatika tidak menunjuk hal apapun, namun kata gramatika mempunyai kebenaran dan logikanya sendiri dalam apa yang dinamakan permainan bahasa (language games). Dalam konteks ini, PI tidak menegasi TLP. Dalam konteks permainan bahasa, TLP mempunyai logika dan kebenarannya sendiri, demikian juga dengan PI.



Sachverhalten

Kunci untuk membedah TLP adalah Sachverhalten.[3]Sachverhalten merupakan terminologi bahasa Jerman. Ada dua versi terjemahan dalam bahasa Inggris untuk Sachverhalten yaitu atomic fact (fakta atomis) dan state of affair (keadaan, situasi). Yang pertama merupakan terjemahan dari C. K. Odgen, sedangkan yang kedua dari Pears-McGuinness. Terjemahan dari Odgen lebih banyak dipakai karena sifat ilmiahnya dan diterbitkan bersama versi Jermannya dan terjemahan ini juga yang dipakai oleh Bertrand Russel. Namun Wittgenstein sendiri lebih menyetujui terjemahan dari Pears-McGuinness.
Mengapa Wittgenstein menolak fakta atomis? Fakta atomis berkaitan erat dengan fakta fisika. Teori atom menyatakan bahwa setiap benda merupakan suatu kompleksitas partikel-partikel yang tersusun atas bagian terkecil, yaitu atom.[4]Wittgenstein tidak berbicara tentang fakta atomis, tapi fakta logika. Sachen (entitas) dan Dingen (benda yang lebih objektif dan fisik) dalam TLP 2.01 menunjukkan maksud Wittgenstein tersebut. Fakta logika tidak melulu fisik (Dingen) akan tetapi juga non-fisik (Sachen). Meskipun demikian, Sachverhalten bukanlah Sachen maupun Dingen. Sachverhaltenseringkali diinterpretasi secara salah sebagai bagian terkecil (atom) dari Sachen atau Dingen. Jika Sachverhaltenitu atom, maka ia bersifat simpleks, padahal ia bersifat kompleks. Kompleksitas Sachverhalten meliputi Sachen dan Dingen dan juga kombinasi keduanya. Sachverhalten bisa diibaratkan nada dasar dalam sebuah lagu, bukan salah satu dari nada. Sachverhaltenmerupakan nada dasar dari TLP.
Sangat rumit untuk menjelaskan arti Sachverhalten. Pasalnya, Wittgenstein juga memakai terminologi Tatsachen dan Sachlage yang artinya sama dengan Sachverhalten, namun Wittgenstein menggunakan ketiga terminologi itu secara berbeda:

Die Welt zerfallt in Tatsachen(Dunia terbagi ke dalam Tatsache)[5]
Was der Fall ist, die Tatsache, ist das Bestehen von Sachverhalten (Apa yang merupakan perkara, Tatsache, adalah eksistensi dari Sachverhalten)[6]

Perhatikan pula tulisan di bawah ini:
Es erschiene gleichsam als Zufall, wenn dem Ding, das allein fur sich bestehen konnte, nach-traglich eine Sachlage passen wurde. Wenn die Dinge in Sachverhalten vorkommen konnen, so muss dies schon in ihnen liegen. (Etwas Logisches kann nicht nur-moglich sein. Die Logik handelt von jeder Moglichkeit and alle Moglichkeiten sind ihre Tatsachen) (Hal tersebut muncul sebagai aksiden, ketika suatu hal yang hanya bisa ada dengan suatu sebab, sehingga Sachlageakan sesuai. Jika hal-hal dapat terjadi dalam Sachverhalten, kemungkinan ini harus sudah termaktub di dalamnya. (Sebuah entitas logis tidak bisa hanya menjadi-mungkin. Logika menguji setiap kemungkinan dan segala kemungkinan adalah Tatsachen-nya)[7]
Sachverhalten merupakan poros dalam Tatsachen-Sachverhalten-Sachlage. Hal ini
dapat dipahami dengan memperhatikan dalam deret matematis:


Sachverhalten menempati bilangan nol, sebelah kiri dan kanannya terdapat Tatsachen dan Sachlage. Di dalam Sachverhalten itulah letak perkaranya.[8]
Dalam konteks ini, TLP 1[9] dapat dijelaskan. Bilangan nol menjadi perkara di antara bilangan positif dan negatif. Benar bagi negatif, merupakan salah bagi positif, begitu juga sebaliknya. Nol (Sachverhalten)bagaikan hakim yang berada di antara dua kepentingan.
Kebenaran bukanlah bilangan positif, negatif, atau bahkan nol. Wittgenstein merumuskan kebenaran logis-analitis dalam fungsi kebenaran. Kebenaran suatu fungsi ditentukan oleh peubah (variable) yang menyusunnya. Misalnya, f(x) = x + 1, maka kebenaran fungsi x bisa 2 (jika x = 1) atau 20 (jika x = 19) atau bahkan -1 (jika x = -2) dan seterusnya.



Metafora dan Simile

Tractatus Logicus philosicus dibuka dengan kalimat Die Welt ist alles, was der Fall ist (dunia adalah segala sesuatu yang adalah perkara).[10]Apa maksud perkataan ini? Apakah Wittgenstein hendak memberi definisi tentang dunia? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab tanpa memahami Kej 1:26 (Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita).
Wittgenstein membedakan antara gambar dan rupa. Kej 1:26 menimbulkan persoalan, apakah manusia itu gambaran Allah atau serupa dengan Allah (seperti Allah). Jika dua hal segambar, maka dari dua hal itu ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Jika dua hal dinyatakan serupa, maka dua hal itu tidak bisa dikatakan sama persis, namun kesamaannya lebih mendekati daripada dinyatakan sebagai segambar. Menyamakan dua hal yang berbeda itu sama artinya dengan memberi definisi.
Jika dilihat dalam konteks Sachverhalten, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi merupakan milik fakta fisika, bukan atomis. Wittgenstein mengatakan, “Jika tanda dan apa yang ditandakan tidak identik dalam kaitan total logical content mereka, maka mungkin masih ada yang lebih mendasar daripada logika.”[11]
Inilah realisme murni yang dibawa oleh Wittgenstein, yaitu konsep identitas. Definisi berbeda dari konsep identitas. Secara matematis, definisi ditulis dalam notasi a = b (a didefinisikan sebagai b), sedangkan identitas dinotasikan a ≡ a (jika a maka a). Frege agak keberatan dengan notasi Wittgenstein. Notasi a = b lebih bermakna daripada a ≡ a. Misalnya, pernyataan manusia adalah hewan yang berakal budi lebih bermakna daripada jika manusia, maka itu adalah manusia. Namun masalah akan timbul ketika definisi dipakai dalam fungsi kebenaran:



Maka, TLP 1 bukanlah definisi karena definisi itu tidak ada. Yang ada adalah metafora. Segala sesuatu yang kelihatannya definisi sebenarnya adalah metafora. Definisi manusia adalah hewan yang berakal budi merupakan metafora. Sedangkan pernyataan manusia seperti hewan merupakan simile. Gambar dan rupa dalam Kej 1:26 harus dipahami sebagai metafora dan simile, bukan definisi.
Setiap metafora memiliki locus dan focus. Tujuh metafora dalam TLP juga tersusun dalam kerangka locus-focustersebut:


Definisi terdiri atas definiens dan definiendum. Apa yang disebut sebagai definiens sebetulnya adalah locus dan apa yang disebut definiendum adalah focus. Locus digambarkan dalam focus, akan tetapi focus bukanlah locus. Misalnya dalam metafora bilangan prima (locus) adalah bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri (focus). Dalam metafora tersebut, bilangan prima digambarkan dalam bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri, akan tetapi bilangan prima tidak sama dengan bilangan yang tidak habis dibagi kecuali dengan bilangan itu sendiri.



Proposisi

Wittgenstein memberi 2 proposisi, yaitu p dan q. Kedua proposisi itu dapat dibayangkan menjadi bentuk 1 dimensi:



Dari 1 dimensi kemudian dikembangkan menjadi 2 dimensi:


  
Proposisi p dan q dalam 2 dimensi itu lalu dihubungkan sehingga menjadi 3 dimensi[12]:



Sekarang Wittgenstein mempunyai 16 proposisi[13]:


Keenambelas proposisi di atas merupakan kemungkinan-kemungkinan logis dari dua proposisi elementer (p,q). Kemungkinan logis tersebut ternyata simetris pada garis di antara SBBS dan BSSB. Dengan demikian, masing-masing memiliki pasangannya sendiri sedemikian sehingga p dan N(p) ≡ q ; q dan N(q) ≡ p. Pertemuan antara p dan q berada di pRq (p berhubungan dengan q) dan bermuara di titik nol.
Kebenaran tidak dapat diketahui. Kemungkinan besar, kebenaran ada di R yang disebut dalam TLP 1 merupakan perkara. Proposisi p mempunyai kebenarannya sendiri, demikian juga proposisi q juga punya kebenarannya sendiri, tergantung bagaimana melihatnya, mana yang dianggap sebagai focusdan locus. Hanya R yang memiliki kebenaran objektif.
Segala yang ada dalam dunia ini harus diperiksa nilai kebenarannya. Cara memeriksanya adalah dengan menggunakan fungsi kebenaran karena semuanya termanifestasi dalam proposisi. Penggunaannya mungkin rumit karena masing-masing mempunyai nilai kebenaran subjektif. Akan tetapi, ketika memosisikan diri di R (nol), maka pencariannya akan lebih mudah.

Kesimpulan dan Kontekstualisasi
Wittgenstein termasuk dalam kalangan filosof analitis bahasa. Uraian filosofisnya dalam TLP menggunakan logika matematika (ada yang mengatakan Wittgenstein menggunakan mistisisme Yahudi pula). TLP bukanlah buku diktat (tractaat) yang digunakan untuk belajar filsafat. TLP merupakan buku yang harus dinikmati. Ketika seseorang bisa menikmati TLP dan merasakannya sebagai kontemplasi, maka tujuan penulisan TLP tercapai. TLP sebagai kontemplasi bukan merupakan karya metafisika. Wittgenstein mengikuti aliran realisme murni, yang mana metafisika merupakan simile saja karena apriori itu semu saja.[14]
Klaim kebenaran tidak mungkin dilakukan karena segala yang ada di dunia ini adalah proposisi dan disertai kasus di dalam nada dasar Sachverhalten. Dalam pengantar TLP, Wittgenstein mengatakan,”Die Logik muss fur sich selber sorgen (Logika harus sadar diri)”. Logika atau filsafat harus tahu batas-batas mengenai hal-hal apa yang bisa dicari kebenarannya dan apa yang tidak. Wittgenstein tidak berbicara tentang kebenaran subjektif atau objektif. Kebenaran subjektif bisa dikaitkan dengan subjek. Namun ketika terjadi relasi subjek-subjek, maka keduanya merupakan proposisi yang memiliki tanggung jawab etis (objek tidak memiliki tanggung jawab etis).
Kebenaran dalam suatu subjek dikatakan sebagai proposisi ‘p’ sedangkan kebenaran di seberangnya disebut proposisi ‘q’. ‘R’ menempati ruang di antara ‘p’ dan ‘q’. Benar bagi ‘p’ (+) adalah (≡) salah bagi ‘q’ (-), begitu juga sebaliknya. ‘R’ sebagai hakim yang menempati nol bisa menguraikan kebenaran dengan menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran.[15]
Dengan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran, setiap pertentangan bisa diurai secara lebih jelas. Meskipun logika memang tidak bisa mencapai kebenaran sejati, paling tidak proposisinya terlihat dan masing-masing orang bisa menilai kebenarannya. Misalnya dalam kasus penistaan lambang negara (Pancasila) oleh Habib Rizieq. Kasus itu bisa diurai demikian:



Hakim harus bisa melihat segala argumen ‘a’ pada N(a) dan argumen ‘b’ pada N(b). Dalam aRb, terlihatlah seluruh N(a), yaitu apa yang dikatakan sekaligus apa yang dapat ditunjukkan, demikian juga dalam N(b). Hakim sebagai yang mempunyai N(ξ) dapat menunjukkan kebenaran dan semua apa yang mungkin sebagai kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia sebenarnya merupakan hakim atas setiap informasi yang beredar. Setiap informasi tidak bisa langsung dipercaya kebenarannya. Ada yang namanya berita hoax dan ada pula berita faktual. Setiap orang bisa menggunakan fungsi kebenaran dan operasi kebenaran untuk membedakan mana yang hoax dan mana yang faktual. Posisi nol (R) adalah posisi di mana fungsi kebenaran dan operasi kebenaran dapat digunakan. Ketika orang jatuh pada posisi ‘p’ atau ‘q’, maka ia tidak bisa melihat duduk perkaranya N(ξ) secara jelas. Se-faktual apapun argumen ‘q’, pihak ‘p’ tidak akan menerimanya sebagai kebenaran. Seperti kelompok radikal akan terus mengikuti habibnya, meskipun apa yang dikatakan habib itu melanggar hukum ataupun tidak benar secara logis maupun moral.
TLP ditutup dengan diam. Demikian juga hendaknya orang yang hendak memosisikan diri di nol, jika tidak memiliki N(ξ) lebih baik diam. Diam bukan berarti pasif atau tak acuh. Diam adalah suatu disposisi kontemplatif yang berarti melihat dengan penuh perhatian sambil menikmati apa yang dilihat sampai kebenaran itu dicecap.



[1] Konteks hidup berdasarkan A. C. Grayling. Wittgenstein, A Very Short Introduction. Oxford: OxfordUniversity Press, 1996
[2] Bdk. Daniel D. Hutto. Wittgenstein and the End of Philosophy, Neither Theory nor Therapy. New York: Palgrave MacMillan, 2003. Hlm. 172
[3] Der Sachverhalt ist eine Verbindung von Gegenständen. (Sachen, Dingen) dalam TLP 2.01
[4] Serway Jewett. Physics for Scientists and Engineers, 6 th Edition. Pomona: Thomson Broks, 2004. Hlm. 1093
[5] TLP 1.2
[6] TLP 2
[7] TLP 2.0121
[8] Alfred Nordmann. Wittgenstein’s Tractatus, An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Hlm. 108
[9] Die Welt ist alles, was der Fall ist (Dunia adalah segala sesuatu yang adalah perkara)
[10] Terjemahan bahasa Inggrisnya, the world is everything that is case
[11] If sign and thing signified were more identical in respect to their total logical content then there would have
to be something still more fundamental than logic dalam Ludwig Wittgenstein. Notebooks 1914-1916. Chicago: Chicago University Press. Hlm 4e
[12] TLP 5.55423
[13] Bdk. TLP 5.101
[14] TLP 5.633-5.641
[15] Operasi kebenaran itu misalnya a2 x a3 ≡ a2+3 ≡ a5 , pembuktiannya: a2 ≡ a x a; a3 ≡ a x a x a; a2 x a3 ≡ a x a x a x a x a ≡ a5 ; selain itu, dikenal pula bahwa jika a ≡ 2, maka a2 ≡ 4; akan tetapi jika a2 ≡ 4, maka a ≡ 2 adalah salahkarena bisa saja a ≡ -2

Pendidikan Demokrasi: Jacques Maritain

Pengantar
            Masyarakat adalah realitas yang kompleks. Kompleksitasnya terletak pada pluralitas unsur-unsur pembangunnya. Masyarakat modern biasanya tidak homogen. Maka dari itu perlu prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi ini perlu dihayati oleh semua anggota masyarakat. Maka dari itu perlu diteruskan turun temurun. Proses penerusan ini dilakukan melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan demokrasi adalah suatu hal yang penting bagi masyarakat modern. Bagaimana filsafat neo-thomisme melihat hal ini?

Masyarakat Demokrasi
Masyarakat terbentuk dari sekumpulan individu yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam mencapai tujuannya, masyarakat tersebut mempunyai prinsip-prinsip tertentu. Selain untuk mencapai tujuan, prinsip tersebut juga berfungsi untuk menjaga kesatuan dan menunjukkan identitas (kekhasan suatu masyarakat). Masyarakat modern menganut prinsip yang disebut azas demokrasi. Azas demokrasi tersebut biasanya menyangkut martabat manusia, persamaan derajat, hak asasi manusia, kebebasan, keadilan, dan hukum yang tersusun dalam piagam demokrasi (democratic charter).
Azas-azas demokrasi yang tertuang dalam piagam demokrasi lebih bersifat praktis daripada teoretis. Praktis artinya berakar dari masyarakat itu sendiri dan diarahkan untuk hidup bersama sehari-hari. Berakar dari masyarakat itu sendiri berarti piagam demokrasi diambil dari nilai-nilai yang dianut masyarakat itu. Namun, masyarakat yang terbentuk mungkin saja bukan masyarakat homogen. Individu yang membentuk masyarakat itu bisa terdiri dari beranekaragam budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai latar belakang lainnya. Maka dari itu, suatu masyarakat perlu mencari suatu dasar yang kuat yang di atasnya masyarakat itu dapat bersatu dan bersepakat untuk hidup bersama.

Pendidikan Demokrasi
            Masyarakat bukanlah realitas yang sekali jadi. Selain itu, suatu masyarakat juga tidak bubar hanya karena anggota-anggotanya keluar karena migrasi atau meninggal. Ada penerusan dari satu ke generasi ke generasi berikutnya dan dalam proses penerusan ini ada hal-hal yang ditambahkan atau dikurangi. Hal yang terbukti berakibat baik dipertahankan dan dibuat semakin baik, sedangkan hal-hal negatif dihilangkan atau diperbaiki. Proses penerusan ini dilakukan melalui pendidikan. Lembaga politik masyarakat mempunyai kewajiban 

Metode Pendidikan yang Demokratis
Ada 3 cara yang ditawarkan dalam menanamkan nilai yang bersifat praktis:
Yang pertama adalah sekolah yang homogen (seperti SMAK seminari), nilai-nilai demokrasi dapat ditanamkan dengan menyesuaikannya dengan nilai dan pandangan komunitas  tersebut. Nilai demokrasi pasti bisa digandengkan dengan nilai yang dianut di komunitas tersebut.
Yang kedua, dalam sekolah yang berada di lingkungan heterogen (seperti sekolah umum), setiap pengajar mempunyai keyakinan masing-masing yang membuat berbeda korelasinya dengan nilai yang dianut mayoritas murid.
Yang ketiga, menempatkan pelajaran tentang demokrasi pada pelajaran tersendiri yang bersifat historis. Pelajaran itu bisa berupa humanisme, ilmu tentang manusia, filsafat social, dan filsafat hukum dalam kerangka sejarah nasional atau sejarah kemasyarakatan. Pelajaran-pelajaran itu berpusat pada pengembangan dan penanaman ide dasar demokrasi. Maka azas demokrasi diajarkan dalam cara yang konkrit dan komprehensif dalam terang para sastrawan besar, para pemikir besar, dan orang-orang yang telah berjasa bagi umat manusia dan kehidupan historis bangsa.
Dari sudut pandang aplikasi praktis, ada beberapa hal yang harus ditekankan dalam pendidikan generasi muda dalam rangka menanamkan azas demokrasi. Bukan dalam hal pengajaran, namun lembaga pendidikan yang benar-benar hidup
Dalam kehidupan persekolahan, kebiasaan dan keutamaan kebebasan dan tanggung jawab harus dilatih. Dengan kata lain, mereka tidak bisa hanya menjadi murid yang reseptif saja, mereka harus belajar berpartisipasi aktif dalam sebuah kelompok yang terstruktur dan bertanggung jawab untuk disiplin anggota-anggota kelompoknya dan kemajuan kerja dalam kelompok. Kelompok ini harus dibentuk oleh siswa sendiri tanpa campur tangan pihak sekolah, mereka memilih ketua mereka sendiri, mengadakan pertemuan tanpa dihadiri guru/pengajar.
Ketua kelompok menjalin kontak dengan pihak sekolah untuk menyampaikan saran-saran, laporan kegiatan, dan permasalahan yang sedang dihadapi kelompoknya.Dengan metode tersebut, generasi muda dengan konkrit dan sadar menjalankan azas-azas demokrasi dalam hidup mereka dengan menjunjung nilai-nilai martabat manusia, disiplin diri, otonomi kolektif, dan penghargaan kolektif yang mengembangkan mereka.

Dengan mempertimbangkan usia dan kemampuan mereka, sekolah dan universitas harus menjadi semacam ‘laboratorium’ kebebasan yang bertanggungjawab dan pemikiran demokratis yang diperlukan oleh warga negara demokrasi. Perkembangan yang terjadi selanjutnya adalah para peserta didik mampu mengemukakan pendapatnya dan rasa bangga akan kemampuannya.

Hukum Kodrat: Thomas Aquinas

Hukum Kodrat Thomas Aquinas


Dalam Summa Theologiae
            Bertitik tolak dari Rm 2:14-15 ( walaupun mereka tidak mempunyai Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri sendiri (hukum Taurat tertulis dalam hati mereka)) Thomas menarik 3 unsur:  subyektif, kejelasan, dan peranan budi. Thomas juga menarik obyek hukum kodrat sebagai apa yang dikenal dengan sendirinya secara kodrati (tanpa pertimbangan dan tanpa pemikiran). Antara hukum kodrat dan budi mempunyai struktur paralel:
            a. Budi spekulatif
                prinsip pertama yang jelas (non-kontradiksi)
            b. Budi praktis
                prinsip umum yang jelas (yang baik harus dilakukan)

       Segi formalnya adalah kalimat analitis, yaitu predikat sudah terkandung dalam subyek. Sedangkan segi materialnya adalah jelas dengan sendirinya begitu saja dan untuk kita (bukan hanya yang pandai). Prinsip-prinsip pertama hukum kodrat adalah hasil dari budi praktis ( mengingat hukum adalah aturan oleh budi untuk kesejahteraan umum dan dimaklumkan oleh dia yang mengatur masyarakat).
            Thomas menempatkan hukum kodrat di bawah hukum abadi dan di atas hukum positif. Maka hukum kodrat merupakan partisipasi aktif dalam hukum abadi oleh makhluk berbudi.

Peranan Kesimpulan dan Kecenderungan Alami
Dari prinsip umum yang merupakan kalimat analitis tersebut muncul masalah penafsiran. Setiap orang bisa menarik kesimpulan-kesimpulan dari prinsip hukum kodrat karena setiap orang selain mempunyai budi juga mempunyai kecenderungan alami.         
1. Kesimpulan
Universalitas merupakan ciri dari proposisi necesaria. Kodrat manusia adalah budi dan     kehendaknya. Dalam budi ada hal yang diketahui dengan sendirinya, dalam kehendak ada hal yang dikehendaki dengan sendirinya. Maka hukum kodrat adalah keputusan yang jelas dengan sendirinya dan sesuai dengan budi dan kehendak, sifatnya tak berubah.
2. Kecenderungan Alami
Manusia mempunyai tiga kecenderungan. Yang pertama, kecenderungan untuk apa yang baik dan tetap lestari (mempertahankan ada-nya) sebagaimana semua hal yang ada lainnya. Yang kedua, kecenderungan akan beberapa hal istimewa seperti yang dipunyai hewan lainnya (jantan-betina, pendidikan anak-anak, dsb). Yang ketiga, kecenderungan untuk hidup sebagaimana manusia lainnya (mengenal Allah dan hidup bermasyarakat/sosial).
Adanya kecenderungan alami membuat pergandaan hukum kodrat, yaitu dalam kecenderungan alami dan dalam akal budi. Mengikuti definisi Thomas mengenai hukum, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum kodrat yang berasal dari budi saja yang merupakan hukum kodrat sebenarnya. Sedangkan kecenderungan alami merupakan materi/bahan yang harus diatur. Hanya, masalahnya adalah bahwa kecenderungan juga memiliki finalitas. Thomas menjawab bahwa kecenderungan alami diatur menurut budi. Namun kecenderungan alami juga membentuk keseluruhan hukum kodrat, hanya saja di bawah pimpinan budi yang mengaturnya, budi mengintegrasikan semuanya.

Penyimpangan Gagasan Thomas Aquinas
Thomas unggul dalam hal kejelasan (prinsip pertama dan kesimpulan). Namun ada juga kelemahannya, yaitu bahwa ia memasukkan kecenderungan alami ke dalam gagasannya tentang hukum kodrat. Padahal kecenderungan alami ini tidak dipikirkan secara lebih sistematis dan ilmiah untuk konkretisasi yang selanjutnya digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan moral. Kelemahan ini menimbulkan penyimpangan-penyimpangan penafsiran.

1. Voluntarisme
Bagi Thomas, hukum pada hakekatnya adalah sesuatu dari budi, sedangkan secara formaliter (resminya) sesuatu dari kehendak.
a. Voluntarisme radikal
Penekanan pada perbuatan memerintah. Maka hanya mengenal perbuatan yang buruk karena dilarang dan mengeksklusi perbuatan yang dilarang karena buruk. Maka mengingkari hukum kodrat.
b. Voluntarisme moderat
Hukum memperoleh arti penuh jika larangan didasarkan pada kodrat perbuatan/hal itu sendiri. Maka dibedakan antara perbuatan pemberian hukum dan subyek pemberi hukum. Hal ini menjadi relevan jika tak seorangpun dapat memberi hukum pada dirinya sendiri.
2. Don Scotus: Mengenai dekalog IV-X
Dekalog IV-X bukan hukum kodrat karena hanya sesuai dengan prinsip-prinsip pertama tapi tidak ada hubungan yang harus ada antara keduanya. Kaum Thomis menjawab bahwa dekalog IV-X merupakan konklusi mutlak yang sebenarnya dari hukum kodrat (konklusi=prinsip pertama). Maka penekanan berpindah dari subyek ke obyek.
3. Rigorisme
Hukum kodrat adalah hukum yang mesti dilakukan. Maka konklusi tidak disimpulkan dari hukum kodrat, sehingga berlaku umum dan pasti benar. Konklusi juga merupakan hukum kodrat itu sendiri.
4. Vasquez
Hukum kodrat adalah kodrat berbudi manusia dalam arti metafisika
5. Rigorisme Suarez
Keputusan 'itu buruk' sehingga dilarang barulah perintah, belum hukum. Harus ada unsur indikatif dan preceptif. Maka kodrat berkisar pada perbuatan.

Konsekuensi dari Penyimpangan
Ada tiga konsekuensi utama dari penyimpangan atas hukum kodrat Thomas:
1. Pergeseran penekanan dari subyek ke obyek yang menyebabkan kejelasan hukum kodrat menjadi kabur, sebagai hasil dari reaksi terhadap Don Scotus
2. Moral deduksionis menjadikan moral sebagai sesuatu yang rumit yang hanya bisa dipahami oleh para ahli
3. Kodrat fisik-psikis dijunjung tinggi sebagai kodrat metafisis yang tak dapat diubah dan tak terselami. Manusia menjadi tergantung pada hukum alam yang seharusnya justru diaturnya guna kesejahteraan manusia.

           Konsekuensi-konsekuensi di atas membuat pemikiran mengenai hukum kodrat menjadi macet. Penafsiran-penafsiran yang menyimpang tersebut diteruskan begitu saja tanpa diteliti lagi dan dibuktikan. Akibat lainnya adalah adanya keraguan mengenai hukum kodrat,”Apakah hukum kodrat skolastik yang demikian itu benar?” Sulit menerima kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari hukum kodrat yang demikian itu sebagai kesimpulan yang masuk akal.
Perlu adanya usaha menafsirkan kembali hukum kodrat Thomas. Usaha-usaha itu di antaranya yaitu:
1. Berdasarkan gagasan eksistensialisme
titik tolaknya adalah  pengakuan atas sesama manusia sehingga pribadinya harus dihormati dan dihargai. Namun gagasan ini dirasa masih terlalu kabur sehingga ditolak.
2. Kembali ke Thomas

Titik tolaknya adalah arti dan maksud hukum kodrat menurut Thomas. Namun gagasan-gagasan Thomas tidak bisa diambil begitu saja. Koreksi tetap dibutuhkan, misalnya tentang perlunya kecenderungan alami masuk ke dalam hukum kodrat. 

Filsafat Pancasila dan Demokrasi

Kapitalisme, Demorasi, dan Jarum Raksasa di indonesia



Ketahanan nasional berkaitan dengan ketahanan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan. Titik tolaknya yang pertama adalah isi dan kekayaan Indonesia adalah milik bangsa Indonesia dan digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata. Yang kedua, setiap warga negara harus mempunyai rasa sebangsa dan setanah air. Satu bangsa adalah satu jiwa (une nation est une anima-Ernest Renan).
Pada kenyataannya, rakyat Indonesia  malah menjadi pengemis dan kuli di tanahnya sendiri. Contoh perkebunan kelapa sawit, banyaknya pengamen dan pengemis, dan pertambangan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum memiliki tanahnya sendiri, ruang hidupnya sendiri. Kekayaan Indonesia dan isinya kini menjadi milik para pemilik kapital. Ini adalah suatu bentuk kapitalisme. Setiap kapitalisme adalah bentuk penjajahan baru. Jika dibandingkan dengan penjajahan Belanda dulu, apa yang berbeda sekarang? Yang berbeda adalah pemilik modalnya bukan lagi Belanda atau VOC, namun para investor dan dibantu oleh orang-orang dan pemerintah Indonesia sendiri. Ironis!
Ketahanan nasional hanya terlaksana jika seluruh rakyat Indonesia bersatu. Namun bagaimana bisa bersatu jika terjadi ketimpangan di mana-mana? Setiap orang bermodal mendirikan kelasnya sendiri dan memperkuat kelasnya dengan menindas yang lain.
Saya kurang setuju dengan teori jarum raksasa. Teori tersebut menyatakan bahwa banyak orang seperti diarahkan pada sesuatu hal sehingga mempunyai asumsi yang serupa akan hal itu. Yang membentuk pandangan bukanlah jarum raksasa, namun demokrasi. Demokrasi  bukanlah jarum raksasa, meskipun sekilas terlihat sama. Dalam demokrasi, setiap orang dianggap sama. Tidak bisa hal seperti itu. Ada hal-hal yang seharusnya berbeda dan dibedakan dengan selayaknya. Contohnya dalam pemilu. Dalam pemilu, satu orang hanya mempunyai satu suara. Maka, dalam hal ini, seorang professor disamakan dengan seorang tukang becak. Hal-hal seperti inilah yang menjadi kesempatan bagi orang-orang yang ingin meraup untung sendiri. Mereka memanfaatkan orang-orang kecil yang kurang berpendidikan dan menggunakan mereka untuk membenarkan diri mereka sendiri seolah-olah kepentingan orang kecillah yang dibela.
Suatu kali saya melihat kampanye politik. Kampanye politik tersebut lewat dalam suatu rombongan besar melewati jalan raya. Ternyata yang ikut dalam kampanye tersebut adalah orang-orang miskin. Tidak ada orang kaya yang ikut dalam pawai kampanye tersebut. Mereka mau ikut dalam kampanye tersebut karena dibayar, terlepas dari pandangan politik mereka. Bisa saja setelah ikut dalam kampanye Partai A mereka besoknya ikut kampanye Partai B dan besoknya ikut kampanye Partai C. Pemanfaatan orang kecil ternyata sudah merambah politik. Orang menggunakan mereka untuk propaganda. Sudah selayaknya mereka bukan lagi sebagai alat sebagaimana dalam kapitalisme, tetapi juga sebagai subyek berbangsa.
Demokrasi adalah buatan kaum kapitalis. Dengan kata lain, demokrasi dibuat untuk kepentingan pemilik modal. Logikanya, para pemilik modal ingin supaya kekayaannya tidak hilang atau berkurang. Maka mereka membentuk suatu sistem kekuasaan yang terdiri dari kelompok mereka. Caranya adalah dengan suatu sistem yang melibatkan parlemen atau badan perwakilan rakyat, seolah-olah mereka mewakili semua golongan. Faktanya, yang masuk ke dalam parlemen adalah kaum mereka sendiri. Orang yang miskin dibuat tidak bisa masuk ke dalam parlemen dengan jalan membuat mahal cara menjadi anggota parlemen. Jika melihat kondisi tersebut, sangat cocok dengan kondisi di Indonesia. Untuk menjadi anggota DPR atau DPD, orang harus masuk partai, lalu kampanye supaya dikenal masyarakat luas. Nah, untuk masuk partai dan kampanye ini dibutuhkan banyak dana. Jika sistem yang ada terus begini, bagaimana mungkin orang miskin bisa masuk parlemen?
Maka opini umum dibuat secara demokratis oleh kaum pemilik modal. Mereka menguasai parlemen, media masa, perekonomian, dan lain-lain. Tujuan mereka hanya untuk melanggengkan kekayaan mereka.
Kapitalisme adalah sistem yamg jahat. Dengan sendirinya, demokrasi juga jahat. Ia jahat bagi orang lain dan juga bagi dirinya sendiri. Karl Marx sendiri meramalkan bahwa suatu saat kapitalisme akan runtuh. Kapitalisme akan memproduksi banyak orang kaya. Masalahnya, jika semua kaya maka makna kekayaan itu sendiri bisa hilang. Maka mereka menciptakan kemiskinan.
Suprastruktur tergantung pada basic structure-nya. Menurut Marx, basic structure masyarakat adalah ekonomi. Jika sistem ekonomi berubah maka struktur di atasnya juga berubah. Suprastruktur itu misalnya agama, politik, sosial, budaya, dan lain-lain.
Ketika saya immersi di salah satu toko waralaba di Malang selama seminggu saya menemukan adanya suatu perubahan sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang dari pertanian, industri, sekarang beralih ke sistem pasar pilih dan ambil sendiri barangnya (seperti di Indomaret, Ramayana, Rubelan, Alfamart, dan lain-lain). Pekerja toko bertugas mencatat barang masuk dan keluar dan yang kadaluwarsa. Beratnya, barang yang ada ada banyak sekali. Sehingga bagi mereka bekerja bukan lagi suatu kebutuhan, tetapi beban. Padahal kerja adalah satu apa yang tidak terpisahkan dari hakikat manusia itu sendiri. Sistem kapitalisme berarti memisahkan kerja dari hakikat manusia. Maka sudah saatnya Indonesia beralih ke sistem ekonomi pancasila. Ciri khas sistem ekonomi pancasila adalah gotong royong dan pemenuhan kebutuhan bersama secara merata. 

Jiwa: Platon

Apa Itu Jiwa?


Orang sering menggunakan istilah jiwa dalam banyak hal. Ada belahan jiwa, melekat di jiwa (Kerispatih), jiwa patriotik, dan lain-lain. Penggunaan terminologi ‘jiwa’ kadang menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini timbul karena orang sering kurang mengerti apa itu jiwa dan salah tafsir.
Ketika membicarakan jiwa, kita mudah terjebak pada bagaimana mendefinisikan jiwa. Namun bagi Plato, jiwa itu bukan sesuatu sehingga pertanyaan apa itu jiwa sebenarnya menunjuk pada natura atau kodratnya.
Seperti pada es. Jika ada pertanyaan, apa itu es? Maka jawabannya adalah air yang didinginkan hingga 0o C. Seluruh sifat-sifat es ada dalam air tersebut. Namun air tersebut bukanlah jiwa dari es. Jiwanya adalah dingin itu. Air memang membentuk es dan tanpa air es tidak ada. Tapi air bukan jiwanya es. Jiwa es adalah prinsip dingin/prinsip perubahan suhu.
Begitu juga dengan manusia. Jiwa adalah suatu prinsip yang menimbulkan gerak. Dengan adanya jiwa manusia bisa merasakan marah, sedih, lapar, haus, dan lain sebagainya. Maka jiwa dikatakan oleh Platon sebagai prinsip gerak. Ia selalu bergerak sehingga disebut aekineton. Ia juga menggerakkan dirinya sendiri (gerak primer) sehingga disebut autokineton. Selain itu, ia juga menggerakkan tubuh sebagai gerak sekunder. Maka dalam tubuh manusia jiwa bisa dianggap sebagai causa prima. Sebagai causa prima, jiwa pertama-tama menjadi penyebab. Ia aktif memberi gerak. Namun ia juga yang menerima gerak itu dari dirinya sendiri (pasif). Karena demikian abstraknya, jiwa tidak bisa dikenali secara langsung oleh indra. Ia hanya bisa dikenali melalui daya-daya yang ditimbulkannya.
Contoh bagaimana peran jiwa adalah saat seseorang lapar. Rangsangan ini menimbulkan keinginan pemuasan. Proses ini pertama-tama adalah aktivitas jiwa. Barulah ketika jiwa menggerakkan tubuh, gerakan jiwa menuju gerakan sekunder, yaitu untuk makan. Sehingga menggerakkan kaki untuk berjalan mencari makanan, tangan untuk menyuapkan makanan, dan alat-alat pencernaan untuk memproses makanan.
Gerakan itu menjadi pergulatan dalam diri sendiri jika orang itu lapar sementara sedang mengikuti kuliah. Sebenarnya ada keinginan untuk memuaskan rasa laparnya dengan makan. Namun di sisi yang lain ada yang menahannya, yaitu kesadaran akan adanya aturan, rasa gengsi, rasa sungkan, dan lain-lain. Maka di sini tubuh tidak bereaksi, namun semua gerakan itu ada dalam tataran jiwa.
Ada dua macam gerakan yang dilakukan jiwa sesuai dengan kodratnya. Gerakan-gerakan itu adalah gerak mengetahui dan gerak merawat kebebasan.
Yang pertama adalah gerak mengetahui. Ada empat tingkatan dalam gerak mengetahui. Keempat tingkatan itu adalah melalui bayang-bayang, noetik (pengetahuan sejati), rasional diskursif analitis atau matematis, dan rasional intuitif-noetik. Gerak mengetahui ini dapat dipahami melalui sebuah contoh. Contohnya adalah ketika ada kasus penolakan NU atas penyelengggaraan Pemilihan Miss World di Bali. Kita mungkin hanya mengetahui hal ini melalui media TV atau internet atau melalui kata orang saja. Inilah yang disebut bayang-bayang. Berarti kita hanya mengetahui sesuatu hal melalui bayang-bayangnya saja. Kita masuk ke tahap kedua ketika kita berusaha mengetahui masalahnya secara lebih jelas. Kita mencari info-infonya, misalnya dari wawancara langsung. Dalam tahap ini orang dikatakan mendapat pengetahuan yang benar, yang sejati. Jika kita ingin lebih maju daripada sekadar pengetahuan ini kita bisa menganalisanya. Misalnya dengan menilai pendapat NU tersebut dan membandingkannya dengan pihak yang mendukung pelaksanaan Miss World di Bali. Kita menggunakan logika-logika dalam menilai argumen-argumen mereka. Inilah tahapan rasional diskursif analitis atau matematis. Biasanya dari sini orang sudah merasa puas dan dapat menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar atau tidak logis. Namun tahap ini tidaklah cukup. Karena apa yang baik dan harmonis kadang kurang bijaksana. Platon mengajak naik ke tahapan yang lebih tinggi. Tahap ini adalah rasional intuitif-noetik. Dalam tahapan ini seseorang berkontemplasi untuk merenungkan misalnya, apa pagelaran Miss World itu baik, apakah Miss World itu obyektifisasi wanita, dan lain-lain. Inilah kerinduan mendalam jiwa untuk mengetahui, yaitu hingga tahap kontemplasi yang berarti menuju alam idea.
Gerak yang kedua adalah gerak merawat kebebasan. Platon melihat jiwa sebagai penghuni alam idea yang terperangkap dalam tubuh yang fana sehingga melupakan dunia idea. Namun jiwa selalu rindu untuk terbang dengan sayap-sayap cinta menuju dunia idea. Di sanalah jiwa mendapatkan kebebasannya. Pendapat Platon ini beresiko. Resikonya adalah berhadapan dengan para peramal Delphi. Masyarakat Yunani saat itu percaya akan adanya takdir. Jiwa yang bebas untuk berkehendak berarti manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Manusia dapat memilih apa yang dianggapnya sebagai hal yang baik dan benar. Jiwa tidak akan membiarkan dirinya terungkung dalam kegelapan. Ia akan selalu bergerak mewujudkan diri. Jika jiwa tidak bebas, ia tdak lagi bergerak sehingga ia kehilangan dirinya sendiri, atau Platon mengatakan (sebagaimana dikutip Setyo Wibowo (2010 : 67) reinkarnasi menjadi hewan. Maka dalam hidup ini (sebagaimana dihidupi di dunia barat) yang terpenting adalah merawat kebebasan jiwa ini. Jiwa yang terperangkap dalam tubuh sangat rentan untuk melupakan cita-cita idea sehingga harus terus menerus dirawat, dengan kadang tidak merutinkan melakukan sesuatu. Tetapi memilih secara bebas apa saja tanpa dikendalikan lingkungan.


Filsafat Jawa: Bersih Desa

Bersih Desa di Desa Bibis
(Jawa : hal ritual sejenis tolak bala dan perayaan syukur)


            Ritual bersih desa adalah ritual yang diadakan di banyak desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Masyarakat Desa Bibis yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur juga menyelenggarakan ritual ini setiap tahun.
            Ritual bersih desa diadakan setiap Selasa Wage pertama pada Bulan Suro (Jawa: bulan pertama dalam penanggalan Jawa, dalam Islam dikenal sebagai Bulan Muharam). Waktu tersebut dipilih karena masyarakat meyakini bahwa Mbah Danyang (Jawa: orang yang membuka desa pada mula-mula) lahir pada Selasa Wage Bulan Suro. Tidak ada yang mengetahui tanggal kelahiran Mbah Danyang secara pasti, mengingat masyarakat Jawa zaman dulu belum mengenal perhitungan kalender seperi zaman sekarang. Orang Jawa lebih menghargai hitungan weton (Jawa: sistem perhitungan waktu yang dibagi dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun, dan windu) daripada hitungan tanggal.  
            Mbah Danyang di Desa Bibis bernama Mbah Jempor. Nama ‘Jempor’ bukanlah nama asli. Tidak ada yang mengetahui nama asli pembuka Desa Bibis. Masyarakat biasa menyebutya sebagai Mbah Jempor karena ketika berjalan kakinya jempor (bahasa Jawa: pincang).
            Ritual bersih desa di Desa Bibis merupakan ritual penghormatan kepada Mbah Danyang Jempor. Mbah Danyang dianggap memiliki kekuatan yang menghubungkan masyarakat dengan Sang Pencipta (Masruri 2013: 240). Selain itu, Mbah danyang juga dipercaya sebagai penjaga desa (Masruri 2013: 241). Jika dalam desa warganya sering bertengkar atau terjadi bencana alam, masyarakat memercayai bahwa hal itu disebabkan oleh kemarahan Mbah Danyang. Dengan mengadakan ritual bersih desa, masyarakat berusaha untuk menjalin relasi yang lebih baik dengan leluhur, dalam hal ini Mbah Danyang.
            Ritual bersih desa diadakan di punden (Jawa: tempat yang paling keramat di desa) desa. Istilah punden diambil dari kata pepunden yang berarti orang yang dituakan (Sari 2006: 152). Punden diyakini merupakan tempat Mbah Danyangmeninggal secara moksa (bahasa Jawa: hilang, meninggal bersama jiwa dan raganya). Jadi, di punden tidak ada kuburan fisik Mbah Danyang.
            Sebelum upacara diadakan, masyarakat menyiapkan makanan yang akan dibawa ke punden. Makanan itu dibawa dalam wadah tampah(Jawa: alat untuk mengayak beras) atau baskom yang biasa untuk mencuci beras. Makanan yang disiapkan bisa berupa nasi beserta lauk pauknya atau jajanan. Syaratnya hanya jajanan itu tidak boleh jajanan yang dibeli dari toko, tapi hasil dari membuat sendiri.
Pada saat upacara tiba, seluruh warga masyarakat desa diundang untuk berkumpul di punden. Biasanya satu keluarga cukup diwakili minimal satu anggota keluarga. Kalau memang suatu keluarga tidak ada satupun yang bisa mewakili, makanan itu bisa dititipkan pada tetangganya.
            Upacara dibuka dengan kata sambutan dari Mbah Lurah (bahasa Jawa: Kepala Desa). Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan pembacaan doa dari Mbah Modin (Jawa: perangkat desa yang mengurusi agama). Doa yang dipakai adalah doa-doa Islami, karena mayoritas warga adalah muslim. Doa tersebut berisi tentang permohonan ampun atas kesalahan warga desa dan ucapan syukur atas setahun yang telah berlalu. Kesalahan warga desa meliputi pelanggaran atas hal yang dianggap wingit (bahasa Jawa: sakral), permusuhan di antara sesama warga, dan perusakan alam.
            Setelah pembacaan doa selesai, makanan yang dibawa boleh disantap. Setiap orang harus menyantap makanan yang dibawa oleh orang lain. Menyantap makanannya sendiri tidak diperkenankan. Semakin banyak orang yang menyantap makanannya, semakin banyak pula rezeki yang akan diperoleh. Begitulah kepercayaan warga.
            Kemudian upacara dilanjutkan dengan pementasan reog. Reog dipentaskan dalam bersih desa karena konon Mbah Danyang sangat menyukai kesenian reog. Selain itu, reog juga berfungsi untuk memanggil roh baik (Roh Mbah Danyang) agar mengusir roh jahat (Hidayanto 2012: 2136). Pementasan reog dimulai dari punden dan dilanjutkan dengan keliling ke seluruh desa. Reog harus keliling desa agar setiap sudut desa diliputi oleh roh kebaikan.
            Dari uraian di atas, menjadi jelaslah bahwa bersih desa merupakan upacara untuk meraih keselamatan hidup (Kaplan dan Manner 1999: 38). Keselamatan itu diraih melalui membangun relasi yang lebih baik dengan Sang Pencipta melalui leluhur, sesama manusia, dan juga alam.

Filsafat Jawa: Nyuwun Samudra Pangaksami

Nyuwun Samudra Pangaksami 
(bahasa Jawa : Minta pengertian atau maaf yang seluas samudera)


Ada bermacam-macam ungkapan permintaan maaf dalam budaya Jawa. Ungkapan-ungkapan itu di antaranya adalah ngapura, ngapunten (bahasa Jawa: minta maaf), dan yang paling sopan serta formal adalah nyuwun samudra pangaksami.
Ungkapan Nyuwun samudra pangaksami tidak digunakan untuk situasi informal. Selain itu, dalam tata bahasa Jawa, ungkapan ini adalah bentuk krama inggil (Jawa : bentuk bahasa yang paling halus). Biasanya ungkapan ini diucapkan sebagai kata penutup dalam suatu acara formal seperti slametan(Jawa : ritual mohon doa), pernikahan, dan pidato. Bisa dikatakan bahwa yang biasa mengucapkan ungkapan ini adalah seorang pemimpin, baik itu pemimpin acara maupun pemimpin masyarakat. Dalam pergaulan sehari-hari, kebanyakan orang Jawa sangat jarang menggunakan nyuwun samudra pangaksami sebagai ungkapan maaf.
Meskipun demikian, nyuwun samudra pangaksami bukan hanya milik pemimpin saja. Ungkapan ini juga dipakai dalam lebaran. Biasanya, pada setiap lebaran, ada tradisi ujung (Jawa: hal melakukan kunjungan). Dalam ujung, setiap orang, apapun agamanya, mengunjungi orang yang dituakan di daerah itu. Nyuwun samudra pangaksami diucapkan pada saat ujung tersebut. Meskipun bukan suasana formal, lawan bicaranya adalah orang yang dituakan, maka tetap menggunakan bahasa yang paling halus.
Meminta maaf tidak hanya menunjukkan bahwa saya salah dan kamu benar. Ungkapan maaf menunjukkan kerendahan hati. Segala tindakan dan perkataan yang hadir dari seseorang tak jarang menimbulkan rasa sakit hati pada orang lain, meskipun hal itu tidak disengaja. Rasa sakit hati yang dibiarkan akan menimbulkan dendam. Orang Jawa sangat pandai menyimpan dendam (Endraswara 2006:129). Dendam ini bagaikan sekam yang sewaktu-waktu mudah terbakar. Dengan kata maaf, orang berani mengakui kelemahan dirinya sebagai manusia. Meskipun tidak melakukan kesalahan, orang Jawa akan mengucapkan nyuwun samudra pangaksami di akhir. Oleh karena itu, maaf adalah komitmen untuk membangun relasi yang lebih baik.
Meminta maaf merupakan sifat samudra dalam hastabrata (Jawa: delapan sifat pemimpin). Hastabrata berakar dari konsep kosmologis. Delapan sifat hastabrata itu adalah surya, bawana, candra, kartika, tirta, maruta, dahana, dan samudra (bahasa Jawa Kuno : matahari, bumi atau tanah, bulan, bintang, air, angin, api, dan samudera).
Sifat samudra adalah luas dan dalam. Samudra bisa tenang, bisa juga bergejolak. Ombak samudrayang sangat mengerikan jika terlihat dari luar, sebenarnya airnya tenang di dalam. Dalam situasi bergejolak, watak samudramengajarkan untuk memiliki hati yang luas, terutama dalam memaafkan. Maka tidak salah jika dalam permintaan maaf, orang Jawa menggunakan terminologi nyuwun jembaring samudra pangaksami(Syuropati 2015 : 154). Perkataan minta maaf yang sebesar-besarnya atau seluas-luasnya dalam bahasa Jawa digantikan dengan istilah samudra. Bagi orang Jawa, tidak ada yang lebih luas daripada samudra.
Samudra juga mempunyai sifat menampung segala sesuatu. Air dari banyak sungai akhirnya mengalir ke samudra. Air itu membawa banyak hal, seperti lumpur, daun, pasir, dan lain-lain. Hal-hal baik dan buruk tercampur dalam air sungai itu. Sungai pun berbeda dengan satu sama lain. Ada sungai yang airnya jernih, namun ada pula yang airnya keruh hingga kotor. Samudra tetap mau menerima macam-macam jenis air dan macam-macam hal tersebut.
Samudra yang mau menampung banyak hal tersebut dimaknai sebagai sikap pluralisme. Dengan terminologi samudra, orang berharap untuk membangun relasi yang harmonis dalam masyarakat dengan siapapun.