Terus Mainkanlah Biolamu, Kawan
(Sebuah Elaborasi Manusia, Sang Peziarah; Pengharapan, Ragu-Ragu; Bahagia; Penderitaan dan Kematian)
Suatu saat saya sedang menjaga seorang kawan yang sedang sakit. Kawan saya ini sakitnya tidak ringan, yaitu kanker. Dari ujarannya terdengar bahwa ada nada kecewa, marah, dan putus asa, mengibakan bagi yang mendengarnya.
Pengalaman kecil tersebut membuat saya bertanya, “Adakah kebahagiaan dalam penderitaan? Apakah kebahagiaan dan penderitaan itu identik dengan tubuh dan jiwa?”
Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein. Saat penderitaan datang, Dasein sedang berada di area in between. Maksudnya adalah manusia sedang mempertahankan Sein-nya, namun di sisi lain ia sedang berada di perbatasan menuju nicht Sein. Dalam pergulatan ini, manusia bergulat dalam kesepian yang mencekam. Di area itu hanya ada diriku dan Tuhan. Pergulatan ini adalah pergulatan menjadi. Manusia sedang berjalan untuk menjadi. Perjalanan menjadi menandakan bahwa hidup manusia itu temporal. Temporal adalah dibatasi ruang dan waktu. Temporalitas ini hendak mengatakan bahwa dalam hidup manusia itu tidak abadi. Orang tidak selamanya menderita, juga tidak selamanya bahagia.
Ketika sedang menderita, orang bertanya-tanya, “kapankah datangnya kebahagiaan?” Ketika orang sedang diliputi kegembiraan orang tidak akan mau kegembiraan itu hilang. Meskipun ia menyadari bahwa kebahagiaan itu temporal.
Kebahagiaan yang temporal menunjukkan bahwa bahagia itu dinamis. Bahagia itu bukan disposisi . Menurut Aristoteles bahagia merupakan aktivitas manusiawi(Armada Riyanto, 2013, 56). Manusia menemukan kebahagiaannya dalam aktivitas, bukan dalam pencapaian atau kengangguran.
Orang bisa menyadari temporalitas penderitaan dalam pengharapan. Dalam suatu keadaan yang tidak jelas, pengharapan bagaikan pemberi penggerak bagi manusia. Dalam penderitaan, selama orang itu tidak mempunyai pengharapan, pada dasarnya ia telah mati. Betapa dahsyat pengaharapan! Seolah-olah pengharapan adalah itu yang menjadi batas hidup dan mati.
Pengharapan itu membuat orang yang lumpuh menjadi berjalan dan yang buta menjadi melihat. Tentu saja pengharapan tidak bisa dilepaskan dari iman. Dalam kisah tentang Bartimeus misalnya, bisa dilihat betapa iman dan harapan Bartimeus pada Yesus membuatnya melihat lagi. Orang yang berharap adalah orang yang menyeberangkan diri. Ia mampu mengatasi keterbatasan dirinya dan menyukuri eksistensinya.
Ketika temporalitas menyeret manusia pada penderitaan manusia mempunyai pilihan. Pilihan itu adalah dia mau bahagia atau putus asa. Manusia bisa bahagia dalam menderita asal ia punya harapan.
Pilihan itu terlihat mudah. Padahal tidaklah demikian halnya. Harapan itu seringkali dikaburkan oleh keragu-raguan. Dalam harapan selalu ada ruang untuk keraguan.
Ketika daya manusia sudah di ambang batas, hanya Tuhan yang menjadi harapan. Harapan akan Tuhan membuat manusia bahagia dalam penderitaan. Namun bagaimana jika penderitaan itu justru membawa keraguan akan kebaikan Tuhan? Tuhan itu mahabaik. Akan tetapi, apakah kita masih percaya bahwa Tuhan itu mahabaik ketika Ia membiarkan penderitaan datang kepada kita?
Manusia dikaruniai kehendak bebas. Dengan kehendak bebasnya manusia mempunyai pilihan dalam hidupnya. Maka Ragu-Ragu menjadi aktivitas setiap manusia. Namun keraguan dalam keseharian sering terasa kabur. Kekaburan keraguan disebabkan oleh pilihan yang hadir tidak menyangkut kelestarian hidupnya. Berbeda ketika manusia berada pada posisi di ambang batas (demikian istilah yang digunakan Heidegger).
Apa yang dialami Yohanes Gabriel Perboyre saat menuju kemartirannya mungkin dialami oleh kawan saya yang sedang sakit kanker pula. Di sana terjadi pergulatan antara harapan, keragu-raguan, dan kebahagiaan. Ketika kebahagiaan itu menjadi suatu aktivitas, harapan akan kesembuhan menimbulkan kebahagiaan. Namun bayangan keraguan membuat kebahagiaan itu hilang. Ketika kebahagiaan adalah aktivitas menuju pada Allah, timbul pula keraguan. Keraguan yang timbul adalah keraguan seperti yang dialami Yohanes Gabriel Perboyre. Pada saat itu muncul pertanyaan,apakah saya layak untuk kebahagiaan itu?
Seorang seniman menuliskan tubuh bagaikan biola. Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh , dan suara itulah jiwanya tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai.
Dualisme tubuh dan jiwa merupakan ajaran Plato. Jiwa itu terpenjara dalam tubuh, dan jiwa menghendaki kebebasan. Ketika tubuh itu sudah tidak berdaya orang dapat berkata, “Tubuh ini bukan milikku lagi.” Saat seperti itu, orang merasa kesal, marah, kecewa, dan bahkan putus asa. Mengapa aku yang sakit dan bukan orang lain? Apa kesalahanku? Kebahagiaan terasa tidak mungkin lagi diraih. Yang ada hanya penderitaan dan mungkin menuju kematian.
Terminologi biola tak berdawai menemukan maknanya dalam filsafat Platonis. Dalam filsafat Platonis jiwa digambarkan sebagai itu yang hendak keluar dari tubuh. Jiwa merindukan kebebasan. Ia tidak mau dikekang oleh tubuh dalam mengungkapkan dirinya. Hal ini menjadi lebih jelas dalam peziarahan jiwa Theresia Lisieux. Dalam tulisannya, Histoire d’une ame, Theresia menemukan bahwa kualitas manusia tidak ditampilkan dalam karya yang luar biasa (yang biasanya direpresentasikan oleh tubuh). Manusia menemukan dirinya dalam kesehariannya, betapapun sederhana.
Dalam kelemahan tubuh, jiwa bisa menyuarakan dirinya dengan lantang. Tubuhnya membatasi gerakannya. Namun jiwanya berziarah menuju ke Keindahan abadi.
Jadi di mana kita menemukan manusia? Apakah dalam penderitaannya? Apakah dalam kebahagiaannya? Apakah dalam keragu-raguannya? Apakah dalam peziarahannya? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Masing-masing filosof mencoba menjawab pertanyaan itu.
Kepenuhan manusia dalam penderitaannya merupakan gagasan Heidegger. Aristoteles mengajarkan bahwa manusia adalah dia yang bahagia. Bahagia dalam Aristotelian adalah aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Sedangkan manusia dalam keragu-raguannya jelas merupakan pendapat Cartesius dengan cogito-nya.
Sesungguhnya manusia tidak bisa direduksi ke dalam terminologi-terminologi di atas. Keluasan makna hidup manusia membuat segala terminologi menjadi bersifat menyempitkan. Meskipun demikian, pengharapan, ragu-ragu, bahagia, peziarahan, penderitaan, dan Kematian merupakan hidup manusia itu sendiri. Semuanya itu tidak bisa dipisahkan secara definitif. Pengalaman kawan saya yang sedang sakit tersebut menunjukkan bahwa semuanya seringkali tercampur aduk menjadi satu. Dalam ketercampuradukannya itu yang ada bukan aku lagi. Aku (Beingatau Dasein) tidak ada lagi. Yang ada adalah Cinta itu sendiri.
Cinta sering dipahami sebagai kebahagiaan. Jika demikian, makna cinta itu menjadi kabur. Kekaburan itu muncul karena dalam cinta ternyata orang menemukan penderitaan dan keraguan juga. Namun di dalamnya juga ada harapan. Setelah itu orang jatuh pada pemaknaan dualisme Platon yang keliru. Manusia dianggap statis saja. Padahal manusia adalah dia yang menyejarah, berziarah, dan dinamis.
Dalam kawan saya itu saya melihat sebuah pergulatan cinta manusia. Dan dalam pergulatan cintanya itu saya berharap agar ia terus memainkan biolanya.
Sumber Pustaka: Riyanto, Armada. Menjadi Mencintai. Yogyakarta : Kanisius, 2013
No comments:
Post a Comment