Thursday, 24 August 2017

Metafisika: Filsafat Aku

Sebuah Pencarian Aku


        Suatu kali, untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Bakti Luhur di Jl Dieng Malang. Saya terkejut melihat seorang anak yang hanya bisa tergolek di kursi roda. Keluhuran manusia yang selama ini saya percayai kembali saya pertanyaan melihat realitas seperti ini. 
           Plato, murid Socrates mengatakan jiwa yang terkekang dalam penjara badan (Armada Riyanto, 2011, 5). Namun apabila manusia mati ke manakah aku? Apakah ikut membusuk bersama badan ataukah menuju keabadian bersama jiwa? Aku bukanlah badanku atau jiwaku saja. Aku tidak melekat pada fisik. Aku tidak terlihat dan menyangkut keseluruhanku. Yang saya lihat pada seorang anak yang (maaf) cacat bukanlah aku tetapi hanya badannya. Keagungan manusia adalah terletak pada akunya yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan lain.
           Aku adalah aku yang belum penuh, demikian menurut Ortega Y Gaset (Armada Riyanto, 2011, 18). Hal ini Nampak jelas dalam Adam. Ketika Hawa belum diciptakan Adam hanya dapat berelasi dengan Allah, karena relasi hanya dimungkinkan bagi makhluk yang sama-sama mempunyai kesadaran aku dan Allah adalah Aku Absolut (Aku adalah Aku). Aku menemukan kepenuhannya dalam engkau. Maka engkau adalah bukan aku yang dengannya aku berelasi. Religiusitas adalah pencarian kepenuhan aku. Maka religiusitas adalah sebuah relasi. Relasi yang dimaksud adalah dengan diriku, engkau, dan Aku Absolut, Tuhan. Relasi bukan suatu hal yang sekali jadi, namun melalui dialog-dialog dan perjumpaan-perjumpaan dalam aktivitas sehari-hari.
      Filsafat Timur (India dan Jawa) meminati relasi dengan diriku sendiri sebagai sumber kebahagiaan dan kebenaran. Dalam Bhagavad Gita, Kresna menyuruh Arjuna melihat atman atau self sebagai kunci dalam Mahabharata. Sedangkan dalam lakon Bimasuci (Jawa) menampilkan Bima yang masuk ke dirinya sendiri (jagad cilik) yang digambarkan dalam Dewaruci sehingga Bima menemukan tirta prawitasari (kebahagiaan sejati). Aku adalah sumber kebenaran sejati sehingga manusia harus masuk ke kedalaman diri. 
          Aku juga mencapai kepenuhan dalam relasi dengan engkau. Bukan hanya diriku saja yang mempunyai kesadaran aku, engkau juga mempunyai aku. Dan Kesadaran akan engkau itulah membuat kesadaran akan aku menjadi semakin penuh. Anak yang saya lihat di Bakti Luhur juga engkau. Ia rindu untuk menjalin relasi dengan diriku, demikian juga diriku. Meskipun dengan segala keterbatasan namun sesungguhnya yang berelasi bukanlah inderaku maupun fisikku, tetapi aku. Aku tidak tereduksi dengan ketaksempurnaan fisik.
        Namun demikian sebenarnya ada kerinduan yang paling mendalam dari manusia, yaitu mencapai kepenuhan aku dalam kepenuhan relasi dengan Aku Absolut, yaitu Tuhan karena aku adalah citra dari Aku. St Agustinus mengungkapkannya dalam satu kalimat yang indah: iniqueitum est cor meum donec requiescat in te (Belum tenang jiwaku sebelum beristirahat dalam Engkau).
             Relasi-relasi di atas mensyaratkan adanya kontak atau dialog. Kontak itu ada realitas dan ada jawaban atas realitas itu. Jawaban yang sejati berasal dari aku. Di luar aku tidak ada yang boleh memaksakannya baik itu diriku sendiri, orang lain, bahkan Tuhan. Aku selalu mempunyai pilihan atas berbagai kemungkinan.
             Filsafat Jawa memandang hidup sebagai perjalanan, peziarahan. Dalam perjalanan hidup, aku adalah aku yang singgah untuk minum (mampir ngombe). Singgah berarti menyadari bahwa hidup ini hanya sebentar dan ada bagian dari perjalanan hidup yang lebih panjang. Minum adalah aktivitas untuk mengisi kesegaran dari rasa haus. Rasa haus yang dimaksud adalah kepenuhan. Maka dalam hidup ini semua orang – baik itu yang (maaf) cacat, maupun yang tidak cacat – mencari kepenuhan hidup dalam relasi dengan aku yang ada dalam diri, engkau dan Tuhan.

No comments:

Post a Comment