Thursday, 24 August 2017

Jiwa: Platon

Apa Itu Jiwa?


Orang sering menggunakan istilah jiwa dalam banyak hal. Ada belahan jiwa, melekat di jiwa (Kerispatih), jiwa patriotik, dan lain-lain. Penggunaan terminologi ‘jiwa’ kadang menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini timbul karena orang sering kurang mengerti apa itu jiwa dan salah tafsir.
Ketika membicarakan jiwa, kita mudah terjebak pada bagaimana mendefinisikan jiwa. Namun bagi Plato, jiwa itu bukan sesuatu sehingga pertanyaan apa itu jiwa sebenarnya menunjuk pada natura atau kodratnya.
Seperti pada es. Jika ada pertanyaan, apa itu es? Maka jawabannya adalah air yang didinginkan hingga 0o C. Seluruh sifat-sifat es ada dalam air tersebut. Namun air tersebut bukanlah jiwa dari es. Jiwanya adalah dingin itu. Air memang membentuk es dan tanpa air es tidak ada. Tapi air bukan jiwanya es. Jiwa es adalah prinsip dingin/prinsip perubahan suhu.
Begitu juga dengan manusia. Jiwa adalah suatu prinsip yang menimbulkan gerak. Dengan adanya jiwa manusia bisa merasakan marah, sedih, lapar, haus, dan lain sebagainya. Maka jiwa dikatakan oleh Platon sebagai prinsip gerak. Ia selalu bergerak sehingga disebut aekineton. Ia juga menggerakkan dirinya sendiri (gerak primer) sehingga disebut autokineton. Selain itu, ia juga menggerakkan tubuh sebagai gerak sekunder. Maka dalam tubuh manusia jiwa bisa dianggap sebagai causa prima. Sebagai causa prima, jiwa pertama-tama menjadi penyebab. Ia aktif memberi gerak. Namun ia juga yang menerima gerak itu dari dirinya sendiri (pasif). Karena demikian abstraknya, jiwa tidak bisa dikenali secara langsung oleh indra. Ia hanya bisa dikenali melalui daya-daya yang ditimbulkannya.
Contoh bagaimana peran jiwa adalah saat seseorang lapar. Rangsangan ini menimbulkan keinginan pemuasan. Proses ini pertama-tama adalah aktivitas jiwa. Barulah ketika jiwa menggerakkan tubuh, gerakan jiwa menuju gerakan sekunder, yaitu untuk makan. Sehingga menggerakkan kaki untuk berjalan mencari makanan, tangan untuk menyuapkan makanan, dan alat-alat pencernaan untuk memproses makanan.
Gerakan itu menjadi pergulatan dalam diri sendiri jika orang itu lapar sementara sedang mengikuti kuliah. Sebenarnya ada keinginan untuk memuaskan rasa laparnya dengan makan. Namun di sisi yang lain ada yang menahannya, yaitu kesadaran akan adanya aturan, rasa gengsi, rasa sungkan, dan lain-lain. Maka di sini tubuh tidak bereaksi, namun semua gerakan itu ada dalam tataran jiwa.
Ada dua macam gerakan yang dilakukan jiwa sesuai dengan kodratnya. Gerakan-gerakan itu adalah gerak mengetahui dan gerak merawat kebebasan.
Yang pertama adalah gerak mengetahui. Ada empat tingkatan dalam gerak mengetahui. Keempat tingkatan itu adalah melalui bayang-bayang, noetik (pengetahuan sejati), rasional diskursif analitis atau matematis, dan rasional intuitif-noetik. Gerak mengetahui ini dapat dipahami melalui sebuah contoh. Contohnya adalah ketika ada kasus penolakan NU atas penyelengggaraan Pemilihan Miss World di Bali. Kita mungkin hanya mengetahui hal ini melalui media TV atau internet atau melalui kata orang saja. Inilah yang disebut bayang-bayang. Berarti kita hanya mengetahui sesuatu hal melalui bayang-bayangnya saja. Kita masuk ke tahap kedua ketika kita berusaha mengetahui masalahnya secara lebih jelas. Kita mencari info-infonya, misalnya dari wawancara langsung. Dalam tahap ini orang dikatakan mendapat pengetahuan yang benar, yang sejati. Jika kita ingin lebih maju daripada sekadar pengetahuan ini kita bisa menganalisanya. Misalnya dengan menilai pendapat NU tersebut dan membandingkannya dengan pihak yang mendukung pelaksanaan Miss World di Bali. Kita menggunakan logika-logika dalam menilai argumen-argumen mereka. Inilah tahapan rasional diskursif analitis atau matematis. Biasanya dari sini orang sudah merasa puas dan dapat menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar atau tidak logis. Namun tahap ini tidaklah cukup. Karena apa yang baik dan harmonis kadang kurang bijaksana. Platon mengajak naik ke tahapan yang lebih tinggi. Tahap ini adalah rasional intuitif-noetik. Dalam tahapan ini seseorang berkontemplasi untuk merenungkan misalnya, apa pagelaran Miss World itu baik, apakah Miss World itu obyektifisasi wanita, dan lain-lain. Inilah kerinduan mendalam jiwa untuk mengetahui, yaitu hingga tahap kontemplasi yang berarti menuju alam idea.
Gerak yang kedua adalah gerak merawat kebebasan. Platon melihat jiwa sebagai penghuni alam idea yang terperangkap dalam tubuh yang fana sehingga melupakan dunia idea. Namun jiwa selalu rindu untuk terbang dengan sayap-sayap cinta menuju dunia idea. Di sanalah jiwa mendapatkan kebebasannya. Pendapat Platon ini beresiko. Resikonya adalah berhadapan dengan para peramal Delphi. Masyarakat Yunani saat itu percaya akan adanya takdir. Jiwa yang bebas untuk berkehendak berarti manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Manusia dapat memilih apa yang dianggapnya sebagai hal yang baik dan benar. Jiwa tidak akan membiarkan dirinya terungkung dalam kegelapan. Ia akan selalu bergerak mewujudkan diri. Jika jiwa tidak bebas, ia tdak lagi bergerak sehingga ia kehilangan dirinya sendiri, atau Platon mengatakan (sebagaimana dikutip Setyo Wibowo (2010 : 67) reinkarnasi menjadi hewan. Maka dalam hidup ini (sebagaimana dihidupi di dunia barat) yang terpenting adalah merawat kebebasan jiwa ini. Jiwa yang terperangkap dalam tubuh sangat rentan untuk melupakan cita-cita idea sehingga harus terus menerus dirawat, dengan kadang tidak merutinkan melakukan sesuatu. Tetapi memilih secara bebas apa saja tanpa dikendalikan lingkungan.


No comments:

Post a Comment