Thursday, 24 August 2017

Filsafat Etika: Relasi dengan Alam

Menikmati Senja
(Hubungan antara Teknologi dan Ekologi
dalam Laudato Si art. 204)

1.   Pengantar
Di suatu senja hari menjelang malam, di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, anak-anak keluar dari rumah mereka untuk bermain bersama. Permainan yang mereka mainkan adalah petak umpet. Ada satu anak yang jaga karena kalah toss. Sementara yang satu jaga, yang lain bersembunyi. Mereka yang bersembunyi seakan tidak takut gelap malam dan bahaya-bahaya lain. Kebetulan senja itu bulan purnama sayup-sayup mulai muncul sehingga langit tampak terang benderang, meskipun listrik sedang mati karena ada pemadaman bergilir. Anak-anak senang bermain bersama seperti itu. Belum ada permainan-permainan modern semacam playstation atau tablet.
Siang harinya, anak-anak dengan bebas bermain di alam terbuka. Sawah, ladang, dan sungai-sungai yang jernih merupakan tempat yang sangat mengasyikkan bagi mereka. Mereka bisa melakukan apa saja yang mereka suka di tempat-tempat terbuka itu tanpa ada perasaan takut terluka atau digigit ular. Main hujan juga merupakan hal yang seru bagi anak-anak. Seringkali orang tua merasa cemas mengingat bahaya-bahaya yang ada. Bisa saja anak-anak mereka terluka atau sakit karena kehujanan.
          Demikianlah, masa kecil merupakan masa yang menyenangkan. Beban berat tanggung jawab belum begitu dirasakan. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takut. Anak-anak selalu ingin tahu apa yang ada di dalam sungai, hutan, dan bagaimana rasanya kehujanan. Permainan-permainan sederhana dengan banyak teman dan risiko yang ada menjadi kesenangan dan bahan belajar yang tidak membosankan.
          Kini semua itu telah hilang entah ke mana. Sawah-sawah dan perladangan telah digantikan oleh kompleks perumahan padat penduduk, begitu juga dengan hutan-hutannya. Sungai-sungai pun bukan tempat yang nyaman lagi untuk bermain. Sungai-sungai itu telah tercemar, mengalami penyempitan atau pendangkalan, dan bahkan ada pula yang telah hilang. Sekarang, bermain hujan pun berbahaya karena air hujan banyak mengandung zat asam akibat polusi udara yang berlebihan.
          Di mana senja yang dulu begitu indah? Matahari yang bersinar cerah seakan hilang ditelan panasnya sinar ultraviolet. Hilangnya keindahan-keindahan itu digambarkan oleh Sena Gumira Ajidarma melalui cerita pendeknya yang berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku:

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tidak lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.[1]
          Cerita pendek tersebut berkisah tentang seorang kekasih yang memotong senja untuk diberikan kepada Alina, pacarnya. Bentuknya memang sebuah surat cinta, namun fokus yang hendak dikatakan Sena Gumira Ajidarma bukanlah tentang cinta. Ia memusatkan kisah pada senja itu sendiri. Senja merupakan hal yang sangat indah, namun dengan segera senja itu akan digantikan oleh malam yang pekat.
          Pekatnya malam bukanlah pekatnya malam sebagaimana dalam makna literal semata. Kepekatan malam yang dimaksud harus dikaitkan pula dengan bagian sebelumnya dalam cerita pendek tersebut:

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di kejauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.[2]
          Kepekatan malam itu seperti perasaan seseorang yang kesepian merindukan kekasihnya. Rasa rindu itu begitu menyeruak hingga memenuhi dada dan menyiksa batin. Perasaan itu tidak bisa muncul tanpa ada perjumpaan sebelumnya. Perjumpaan selalu menghadirkan suatu pengalaman baru dan indah. Pengalaman itu pada akhirnya menghasilkan kenangan-kenangan yang akan muncul di kemudian hari. Kenangan itulah yang menimbulkan rindu.
          Pertanyaannya adalah masih adakah kerinduan semacam itu pada umat manusia terhadap senja harinya yang indah? Kerinduan itulah yang membuat manusia peka untuk menjaga alam sekitarnya. Kerinduan inilah yang dimaksud dalam Laudato Si dalam kata kepekaan. Kepekaan atas pemeliharaan alam tidak akan mungkin tanpa ada kontak langsung dengan alam. Kontak langsung itu adalah perjumpaan dengan alam yang merupakan aku yang lain. Perjumpaan akan menghasilkan relasi. Relasinya bukan relasi yang kosong, tapi suatu relasi cinta.

2.   Situasi Dunia Saat Ini
          Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus mengutip pendahulunya, “Situasi dunia saat ini “membangkitkan rasa ketidakpastian dan ketidakamanan, yang pada gilirannya, mendorong aneka bentuk egoisme kolektif.“[3]Situasi dunia saat ini yang mana yang dimaksud dalam ensiklik ini?
          Kutipan tersebut merupakan pesan Paus Yohanes Paulus II yang disampaikan dalam Hari Perdamaian Sedunia pada 8 Desember 1990. Yang menjadi masalah adalah konteks manakah yang dimaksud dengan ‘saat ini’? Apakah tahun 1990 atau 2015?

Romano Guardini had already foreseen this: “The gadgets and technics forced upon him by the patterns of machine production and of abstract planning mass man accepts quite simply; they are the forms of life itself. To either a greater or lesser degree mass man is convinced that his conformity is both reasonable and just[4]
          Dalam kutipan tersebut, konteksnya kemungkinan besar adalah tahun 2015 atau 200-an karena baru pada sekitar tahun itulah istilah gadgetmulai digunakan secara luas. Namun terjemahan bahasa Inggris ini terasa kurang memuaskan jika dibandingkan dengan terjemahan dari bahasa lainnya:
Romano Guardini hingewiesen hat: Der Mensch „nimmt […] Gebrauchsdinge und Lebensformen an, wie sie ihm von der rationalen Planung und den genormten Maschinenprodukten aufgenötigt werden, und tut dies im Großen und Ganzen mit dem Gefühl, so sei es vernünftig und richtig
          Dalam terjemahan dalam bahasa Jerman tersebut tidak disebutkan kata ‘gadget’. Versi latin mengggunakan kata-kata, ‘res ordinarias consuetasve vitae formas’. Rasanya akan lebih tepat jika menggunakan versi Jerman dan latin yang juga diikuti oleh versi-versi lainnya, termasuk versi Indonesia.[5]Dengan melihat perbandingan terjemahan di atas, yang dimaksud dalam dokumen ini bukanlah gadget semata. Yang dimaksud adalah barang-barang praktis gaya hidup, seperti yang didesakkan kepadanya oleh rancangan rasional dan produksi mesin yang standar. Intinya, manusia menerima begitu saja hal-hal yang praktis dan teknologi yang dianggap membantu hidupnya.
          Oleh karena itu, dokumen ini tidak secara jelas menunjuk pada kisaran tahun tertentu. Yang disoroti menjadi fokus utama adalah era di antara zaman modern dan postmodern (peralihan). Pada zaman modern, teknologi berkembang dengan pesat. Hal tersebut merupakan dampak dari revolusi industri di Eropa. Dalam pemikiran modern, dunia dipahami sebagai hasil dari konstruksi manusia:

Modernity referred to a world constructed anew through the active and conscious intervention of actors and the new sense of self that such active intervention and responsibility entailed. In modern society the world is experienced as a human construction, an experience that gives rise both to an exhilarating sense of freedom and possibility and to a basic anxiety about the openness of the future.[6]
          Dunia sebagaimana adanya dirasa masih berbahaya. Rasa tidak aman muncul dari ancaman. Ancaman itu bisa berasal dari alam, maupun dari sesama manusia.  Misalnya, ketika muncul isu adanya kerawanan kurang pangan. Ancaman ini muncul karena jumlah penduduk bumi semakin banyak, sedangkan lahan penghasil pangan semakin berkurang. Padahal setiap orang membutuhkan makanan untuk dapat bertahan hidup. Untuk mengatasi ancaman ini, yang dilakukan adalah rekayasa atas alam.
          Rekayasa atas alam dilakukan dalam berbagai macam bentuk. Bermacam-macam teknologi dikembangkan. Dalam bidang pertanian, bibit-bibit unggul dibuat dengan mengubah gen tanaman melalui persilangan, rekayasa genetik, dan cara lainnya. Bibit unggul diharapkan mampu bertahan dalam berbagai cuaca dan menghasilkan panen yang lebih banyak pada lahan yang sama luasnya. Obat-obatan pembasmi hama dan hormon tanaman juga dikembangkan untuk mendukung bibit unggul tersebut. Pada awalnya, rekayasa tersebut membuahkan hasil yang positif. Seiring berjalannya waktu akan muncul dampak-dampak negatifnya. Pembuatan bibit unggul akan mengurangi biodiversitas. Kemudian dari obat-obatan pertanian akan berdampak pada pencemaran tanah. Selain pencemaran tanah, obat-obatan juga membuat hama semakin resisten dan obat-obatan pertanian akan dibuat semakin kuat, lalu membuat hama semakin resisten, dan begitu seterusnya.
          Selain ancaman dari alam, manusia juga merasa terancam dari manusia lainnya. Untuk mengatasi ancaman tersebut, dibuatlah bermacam-macam senjata. Senjata-senjata itu bervariasi, mulai dari senjata ringan, senjata berat, hingga senjata pemusnah massal. Bahaya yang ditimbulkan senjata-senjata ini cukup nyata jika mengingat kembali masa Perang Dunia. Senjata biologis, nuklir, dan kimia juga memberi dampak panjang terhadap kehidupan manusia. Perlombaan senjata semacam ini malah menimbulkan ancaman kepada dunia. Dengan adanya perlombaan senjata, perang sudah di ambang mata.
          Selain merasa terancam, manusia juga merasa kurang nyaman dalam dunia ini. Perasaan kurang nyaman timbul dari pemikiran bahwa dunia bisa dirancang lebih baik dengan memunculkan teknologi-teknologi baru. Teknologi baru ini diharapkan bisa memberi kemudahan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
          Salah satu hal penting dalam kehidupan manusia adalah kebutuhan untuk berkomunikasi. Komunikasi menunjang relasi yang terjadi antarsesama manusia. Sebagai makhluk yang berbadan, kadang komunikasi itu sulit dilakukan karena adanya jarak. Untuk mengatasi masalah ini, teknologi sistem komunikasi jarak jauh dikembangkan. Pengembangannya dimulai dari hal sederhana hingga teknologi yang super canggih.
          Penemuan-penemuan mesin turing[7], nanoteknologi[8], LED (Light-Emitting Technology), dan lainnya memungkinkan adanya sistem jaringan tanpa kabel (wireless). Teknologi-teknologi tersebut kini telah digunakan secara luas dalam apa yang disebut gadget.
          Gadget memberikan kenyamanan baru yang luar biasa. Efek yang ditimbulkannya mungkin tidak pernah terbayangkan, bahkan oleh pembuatnya. Awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan akan alat komunikasi jarak jauh. Namun pada perkembangannya, alat ini bisa digunakan untuk berbagai hal. Keperluan praktis (res ordinares) diterjemahkan menjadi gadget dalam Laudato Si versi Inggis. Terjemahan itu menafsirkan bahwa gadgetmerupakan alat yang praktis, dan memang demikian halnya.
          Berbagai macam orang, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari kalangan tukang bakso hingga para anggota dewan perwakilan rakyat, menggunakan alat ini. Dapat dikatakan pula bahwa pemakaian gadget menjadi gaya hidup baru. Manusia zaman sekarang tidak bisa membayangkan hidup tanpa gadget.
          Banyak hal positif yang didapat dari pemakaian gadget. Namun perlu disadari pula akibat yang sering terabaikan. Sebagai alat komunikasi, gadget justru membuat manusia terasing dalam kesendiriannya. Kesendirian ini merupakan akibat dari anonimitas. Orang yang sudah sibuk dengan gadget-nya akan larut dalam dunia maya.
          Dunia maya menawarkan koneksi tanpa batas dengan orang di seluruh penjuru dunia. Dunia maya adalah dunia yang tidak nyata. Di dalamnya hanya ada hal-hal yang lebih bersifat dangkal. Dunia maya hanyalah akumulasi data dan logika nol dan satu.
          Kompleksitas manusia tidak bisa direduksi ke dalam akumulasi data belaka. Tapi, ternyata manusia justru dibuai oleh ketidaknyataan dunia maya yang dirasa lebih indah. Manusia takut menghadapi kenyataan-kenyataan pahit. Kenyataan justru dihindari, bukan dihadapi. Relasi merupakan suatu perjumpaan antarpribadi. Media sosial dan internet juga menawarkan relasi. Tapi, relasi yang ditawarkan adalah relasi yang dangkal dan semu. Tidak ada perjumpaan antarpribadi yang mendalam. Indikasinya adalah tidak ada keterlibatan di dalamnya. Melihat bencana alam yang terjadi, manusia hanya menjadi penonton dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada cinta. Tidak adanya kontak dengan alam membuat alam menjadi hal yang terjadi di luar sana dan tidak ada hubungannya denganku.
          Dalam hal relasi sosial pun sama saja. Relasi yang terbentuk di media sosial tak jarang merupakan relasi yang anonim. Bisa saja orang menjadi anonim untuk menghindari relasi yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan agar bisa memutus relasi kapan pun diinginkan ketika mulai merasa tak nyaman.
          Dari contoh-contoh di atas tampaklah bahwa setiap pemecahan masalah dengan pengembangan teknologi akan memberi masalah baru pula. Setiap pengembangan teknologi mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang harus disadari:

Iptek mempunyai dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif. Di satu sisi manusia patut berterimakasih kepada iptek, karena telah mempermudah dan membantu hidup manusia secara luar biasa…. Di sisi yang lain kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh iptek membuat manusia menjadi malas, kurang inisiatif, miskin kreasi, menjadi penonton, dan penikmat pasif dan hasil-hasil itu sendiri bisa membawa akibat dan menjadi ancaman yang mematikan dan mengerikan.[9]
          Lalu apa yang harus dilakukan manusia untuk mengatasi masalah-masalah hidupnya? Apakah teknologi-teknologi itu tidak perlu dikembangkan?

3.   Masalah Hidup Bersama 
Peradaban manusia senantiasa berjalan maju. Kemajuan-kemajuan di banyak bidang diusahakan oleh manusia untuk mendukung kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik itu diterjemahkan dengan semakin meningkatnya keamanan dan kesejahteraan. Setiap bahaya dan risiko yang mengancam hidup semaksimal mungkin harus dihilangkan.
Celakanya, cara untuk meminimalisir risiko-risiko hidup itu adalah dengan alat-alat teknologi yang belum tentu dapat dikontrol oleh manusia itu sendiri. Manusia hanya memikirkan konsekuensi jangka pendek saja. Untuk jangka panjang, efek-efek berbahaya akan muncul dan saat itulah sulit untuk dicari penangkalnya.
Ternyata masalah ekologi bukanlah masalah yang sederhana. Setiap aspek dalam hidup manusia saling terkait membentuk rantai permasalahan. Dengan demikian, masalah ekologi harus dicari akar masalahnya. Penyelesaian dengan hanya meninjau satu aspek hanya akan menimbulkan masalah baru.
Paus Fransiskus melihat perkembangan teknologi yang tak terkontrol sebagai suatu keprihatinan. Hal ini menyangkut mentalitas orang zaman sekarang dalam kaitannya dengan pemeliharaan ekologi. Ekologi menjadi rusak karena tidak ada lagi rasa cinta pada lingkungan. Rasa cinta merupakan lawan dari tidak peduli. Mengapa kepedulian itu luntur?
Kepedulian berlawanan dengan keegoisan. Paus Yohanes Paulus mengatakan bahwa ketidakpedulian manusia terhadap ekologi bersumber dari keegoisan manusia terhadap sesamanya: 
Cela entraîne des conséquences directes pour notre problème. Il n'est pas juste qu'un petit nombre de privilégiés continuent à accumuler des biens superflus en dilapidant les ressources disponibles, alors que des multitudes de personnes vivent dans des conditions de misère, au niveau le plus bas de survie. C'est maintenant l'ampleur dramatique du désordre écologique qui nous enseigne à quel point la cupidité et l'égoïsme, individuels et collectifs, sont contraires à l'ordre de la création, dans lequel est inscrite également l'interdépendance mutuelle.[10]
 Rasa terancam hidupnya karena sumber daya yang terbatas membuat manusia berusaha menguasai sumber daya. Pada perkembangan selanjutnya, sumber daya tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhannya sendiri. Manusia terus menumpuk sumber daya secara berlebihan, tanpa menghiraukan sesamanya. Yang penting dirinya aman dengan tumpukan sumber daya. Selanjutnya, sumber daya itu digunakan untuk hidup berkelimpahan, padahal yang lain hidup berkekurangan.
Mentalitas semacam ini merupakan wujud dari keserakahan manusia. Sumber daya yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan banyak orang pada akhirnya hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Keserakahan ini disebabkan oleh kosongnya hati, sebagaimana disebutkan dalam Laudato Si, semakin kosong hati orang, semakin besar kebutuhannya pada barang untuk dibeli, dimiliki, dan dikonsumsi.[11]
Apa yang dimaksud dalam kosong hati? Istilah kosong hati ini agak membingungkan. Jika mengacu pada pesan Paus Yohanes Paulus pada Hari Perdamaian Sedunia, kosong hati ini berpadanan dengan krisis moral: 
La société actuelle ne trouvera pas de solution au problème écologique si elle ne révise sérieusement son style de vie. En beaucoup d'endroits du monde, elle est portée à l'hédonisme et à la consommation, et elle reste indifférente aux dommages qui en découlent. Comme je l'ai déjà fait observer, la gravité de la situation écologique révèle la profondeur de la crise morale de l'homme. Si le sens de la valeur de la personne et de la vie humaine fait défaut, on se désintéresse aussi d'autrui et de la terre.[12]
       Krisis moral terjadi akibat manusia terpusat pada kepentingannya sendiri. Sikap ini merupakan suatu cara pandang yang hedonis. Sikap hedonis menuntun pada suatu gaya hidup yang bertujuan mencari kesenangan. Setiap rasa sakit dan ketidaknyamanan harus dihindari menurut gaya hidup ini. Tidak ada yang salah dengan gaya hidup tersebut. Namun pengalaman membuktikan bahwa gaya hidup seperti itu tidak cocok dengan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Apakah tidak mungkin juga manusia membaktikan seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain dengan niat murni, tanpa pamrih?[13]
     Orang yang bergaya hidup hedonis cenderung untuk menutup diri dari sesama dan lingkungannya. Senada dengan hal tersebut, Karl Bertens menulis:
Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksud dengan egoisme di sini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme etis mempunyai prinsip: saya duluan, orang lain belakangan saja.[14]
          Hedonisme merupakan perwujudan egoisme. Egoisme bertentangan dengan azas hidup societas. Dalam societas[15], orang lain diperlakukan sebagai sahabat (socius). Perlakuan kepada sahabat tentunya berbeda dari perlakuan seseorang terhadap liyan.[16]Dalam konteks hidup bersama, sikap egois harus dihindarkan.
          Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang bersocietas[17]. Tidak ada manusia yang hidup sendiri. Bersocietas adalah kodrat manusia. Hidup bersama adalah cetusan dari kodratnya tersebut. Dengan hidup bersoocietas, manusia semakin menghidupi kodratnya. Maka dari itu, egoisme adalah bentuk pengingkaran terhadap kodrat manusia. Semakin manusia egois, semakin ia tidak manusiawi.
          Hidup bersama, selain tidak mungkin disandingkan dengan egoisme, juga tidak mungkin tumbuh bersama keserakahan. Keserakahan menimbulkan sikap persaingan yang berujung pada permusuhan antarmanusia. Sejarah terjadinya peperangan di dunia adalah sejarah keserakahan manusia. Manusia tidak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya.
          Revolusi industri melahirkan kapitalisme. Dalam kapitalisme, keberadaan hak milik sangat ditekankan. Hal ini menyebabkan setiap orang berlomba-lomba mengembangkan kepemilikannya. Untuk mendukung pengembangan kepemilikan segala sesuatu dikorbankan, bahkan kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang dikritik oleh Marx dalam ajarannya tentang sosialisme.
          Kodrat manusia adalah selalu ingin tahu. Rasa ingin tahu membuat manusia selalu maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehausan akan pengetahuan tak akan pernah terpuaskan selama manusia hidup. Akan tetapi, ternyata bukan hanya rasa haus akan pengetahuan semata yang mengembangkan teknologi. Pengembangan teknologi selalu diarahkan pada sesuatu. Sesuatu itu adalah kebutuhan. Setelah kebutuhan terpenuhi, teknologi itu akan diarahkan pada ambisi dan kompetisi.
          Kompetisi antarmanusia atau antarnegara merupakan kompetisi untuk berebut sumber daya. Setiap orang merasa berhak untuk menguasai sumber daya sebanyak mungkin untuk menjamin hidupnya. Kompetisi semacam itu mengabaikan societas. Inilah yang disebut dengan sikap subjektif, yaitu hilangnya rasa kepedulian terhadap kesejahteraan umum sebagaimana dikemukakan Paus Fransiskus:
Semakin kosong hati orang, semakin besar kebutuhannya pada barang untuk dibeli, dimiliki, dan dikonsumsi. Dalam konteks ini, tampaknya mustahil seseorang menerima kenyataan menetapkan batas-batas baginya. Dalam cakrawala ini, kepekaan sejati terhadap kesejahteraan umum juga tidak muncul. Jika sikap subjektif semacam ini makin dominan dalam sebuah masyarakat, norma akan dihormati hanya sejauh tak bertentangan dengan kebutuhan pribadi. Karena itu kita tidak hanya memikirkan gejala cuaca ekstrem atau bencana alam yang besar, tetapi juga aneka bencana akibat krisis sosial, karena obsesi gaya hidup konsumtif hanya bisa menimbulkan kekerasan yang saling menghancurkan, terutama ketika hanya sedikit orang dapat menikmati gaya hidup itu.[18]
          Ekologi merupakan urusan bersama. Ekologi tidak pernah masuk menjadi isu dalam ruang privat. Maka, kerusakan ekologi juga bukanlah kesalahan satu orang saja. Kerusakan ekologi merupakan akibat dari ketidakpedulian yang bersifat kolektif. Dalam Laudato Si, hal ini disinggung secara jelas melalui sub judul ensiklik, yaitu tentang perawatan rumah kita bersama.[19]

4.   Menuju Suatu Kepedulian terhadap Alam dan Sesama

          Secara implisit Laudato Si menunjukkan bagaimana dunia saat ini sedang beralih dari zaman modern menuju zaman postmodern. Di atas telah diuraikan gambaran tentang modernitas dan pengaruh-pengaruhnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada dunia ini? Akankah menjadi lebih buruk atau lebih baik? Masih adakah harapan bagi umat manusia?
           Untuk dapat melihat apa kiranya yang terjadi di masa mendatang, patutlah disimak uraian Lyotard berikut ini: 
In the postindustrial and postmodern age, science will maintain and no doubt strengthen its preeminence in rhe arsenal of productive capacities of the nation-states. Indeed, this situation is one of the reasons leading to the conclusion that the gap between developed and developing countries will grow ever wider in the future. Knowledge in the form of an informational commodity indispensable to productive power is already, and will continue to be, a major perhaps the major stake in the worldwide competition for power. It is conceivable that the nation-states will one day fight for control on informatio, just as they battled in the past for control over territory, and afterwards for control of access to and exploitation of raw materials and cheap labor A new field is opened for industrial and commercial strategies on the one hand, and political and military strategies on the other.[20]
          Uraian Lyotard tersebut merupakan suatu gambaran buruk yang memang sudah terlihat bibit-bibitnya sejak sekarang. Jurang antara si kaya, yang berpunya, dengan si miskin, yang tak berpunya semakin lebar. Hal itu disebabkan oleh ketidakmerataan pemerolehan sumber daya. Antarnegara terjadi perlombaan senjata yang akan berujung perang. Kompetisi semakin ramai, sementara alam makin rusak dan kehidupan bersama di ambang kehancuran. Apa yang dapat dilakukan?
          Kepedulian bukanlah hal yang sekali jadi. Kepedulian adalah suatu habitus. Penanaman dan pembiasaan untuk melakukan hal-hal baik akan menumbuhkan cinta dan kepedulian pada alam dan sesama.[21]
Perhatian manusia telah teralihkan dari alam dan sesamanya. Manusia lebih berpusat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan akibat dari semakin dangkalnya relasi yang terjadi. Kontak langsung telah banyak digantikan oleh kontak melalui akumulasi data[22]:

Le contact avec la nature, par lui-même, est profondément régénérateur, de même que la contemplation de sa splendeur donne paix et sérénité. La Bible parle souvent de la bonté et de la beauté de la création, appelée à rendre gloire à Dieu (cf., par exemple, On 1, 4 ss; Ps 8, 2; 104, l s s . ; 8g 13, 3-5; Si 39, 16. 33; 43, 1. 9). La contemplation des oeuvres du génie humain est peut-être plus difficile, mais non moins intense.
          Akumulasi data bukanlah dunia kenyataan. Akumulasi data adalah dunia dalam dunia. Manusia membutuhkan kontak langsung untuk menjamin kedalaman relasi. Gadgettelah mengalihkan perhatian manusia dari kenyataan hidup. Dalam dunia akumulasi data, kenyataan hidup yang kurang menyenangkan bisa dihindari. Pergulatan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Padahal manusia hidup dari pergulatan hidup sehari-hari. Setiap pergulatan mengandung nilai yang berharga. Dari setiap pergulatan manusia bisa jatuh dan bangkit lagi. Manusia bisa belajar dari kegagalan-kegagalannya menuju suatu hidup yang lebih baik. Pergulatan hidup itu indah.
          Jonas mengusulkan suatu heuristika ketakutan. Jonas melihat mengajak semua manusia mencintai alam dan mengontrol teknologi merupakan hal yang sulit. Maka etika tentang itu harus dipaksakan. Bukan cara pemaksaan yang legalistik. Jonas ingin langsung menyentuh pada kebutuhan dasar manusia, yaitu kelestariannya. Etika harus jauh melihat ke depan dengan melihat segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Kita belum mengetahui seperti apa masa depan itu. Maka perlu adanya semacam prediksi atau ramalan.
          Ramalan yang baik hanya akan menyebabkan manusia bersantai diri. Toleransi akan kesalahan dan keburukan akan terjadi. Maka ketimbang ramalan yang baik lebih bijak untuk menempatkan ramalan buruk. Suatu gambaran yang buruk akan masa depan membuat manusia bisa bersyukur atas apa yang dimiliki sekarang. Gambaran buruk itu juga membuat manusia ketakutan. Kemudian dari ketakutan itu diperiksa apakah manusia dapat memperoleh pengetahuan darinya.[23]
          Akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang memperlihatkan kehancuran dunia. Salah satunya adalah The Day after Tomorrow. Film ini memperlihatkan akibat dari pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan es di kutub mencair dan menyebabkan bencana alam yang menghancurkan dunia. Gambaran-gambaran semacam itu membuat manusia berpikir ulang ketika hendak merusak alam. Itulah yang dimaksudkan Jonas. Langkah preventifnya lebih bersifat negatif. Yang dimaksud bersifat negatif adalah bentuknya semacam ancaman.
          Laudato Si berbeda dari usulan Hans Jonas. Paus Fransiskus memberikan solusi yang lebih bersifat ajakan ketimbang ancaman. Solusi yang ditawarkan Paus Fransiskus lebih berpusat pada manusia daripada teknologi. Manusia masih bisa dikontrol dengan etika. Dengan membatasi kuasa manusia akan teknologi, diharapkan teknologi yang dihasilkan manusia merupakan teknologi yang membangun. Sedapat mungkin teknologi yang sifatnya merusak dihindari. Etika mutlak diperlukan karena manusia bisa menghasilkan teknologi yang merusak dan membangun.
          Laudato Si’ membentangkan sudut pandang yang lebih luas. Sudut pandang yang ditawarkan adalah manusia sebagai rekan kerja Allah di dunia. Manusia kembali diingatkan tentang panggilan luhurnya di dunia:

La complexité du problème écologique est évidente pour tous. Toutefois, il existe quelques principes de base qui, dans le respect de l'autonomie légitime et de la compétence spécifique de ceux qui en ont la charge, peuvent orienter la recherche vers des solutions adéquates et durables. Il s'agit de principes essentiels pour construire une société pacifique, laquelle ne peut ignorer ni le respect de la vie ni le sens de l'intégrité de la création.[24]
Manusia sebagai citra Allah juga berarti manusia mengambil bagian dalam karya ciptaan. Segala tindakan manusia terhadap ciptaan hendaknya juga selaras dengan kehendak Allah. Terlihat bahwa tanggung jawab atas alam tidak hanya didasarkan pada keberadaan manusia dan alam. Kemuliaan panggilan manusia juga disinggung sebagai dasar tanggung jawab. Dengan demikian, landasan tanggung jawab menjadi lebih kuat.
          Etika bukannya hendak membatasi kreativitas manusia untuk terus mengembangkan teknologi. Hanya saja manusia harus terus diingatkan dalam batas mana alam boleh direkayasa. Pengembangan teknologi tidak boleh berakibat negatif bagi alam dan manusia itu sendiri. Setiap pihak mendapat hak yang sama untuk terus lestari. Keseimbangan harus tetap dijaga agar tercipta kehidupan yang harmonis.

5.   Kesimpulan
          Masalah ekologi adalah masalah etika kolektif. Kepedulian bersama terhadap alam dan sesama menjadi kunci perawatan bumi. Dalam peralihan antara zaman modern dan postmodern, mentalitas egois telah meluas secara masif. Teknologi dan media komunikasi canggih disinyalir menjadi akar perubahan sosial tersebut.
          Manusia, mulai dari anak-anak hingga dewasa, lebih sering bergaul data dunia akumulasi data daripada dunia nyata. Permainan-permainan di alam telah digantikan permainan digital dan internet. Relasi-relasi sosial di dunia maya semakin mendangkalkan makna societas. Pada akhirnya relasi semacam itu akan menjemukan dan kehilangan maknanya.
          Akibat dari dangkalnya makna relasi dan societas terasa sangat nyata. Kepedulian terhadap sesama menjadi semakin luntur. Dengan demikian alam menjadi ajang persaingan antarmanusia yang berebut sumber daya. Keserakahan merajalela di mana-mana. Nafsu untuk menguasai tidak pernah padam, sementara itu sumber daya semakin menipis.
          Apa yang dulunya dianggap sebagai pemecah masalah justru menimbulkan masalah-masalah baru karena alam tidak bisa direkayasa seenaknya. Teknologi justru menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Keamanan dan kesejahteraan yang menjadi tujuan pengembangan teknologi justru tidak tercapai. Manusia dikungkung dalam ketidakpastian dan ketidakamanan buatannya sendiri.
          Melihat situasi dunia yang demikian kacau, Paus Fransiskus, melalui Laudato Si menyerukan perubahan. Akar dari permasalahan-permasalahan dunia adalah mentalitas. Dunia sedang mengalami krisis etika. Manusia sudah mengembangkan teknologi sedemikian maju, namun mentalnya belum siap. Kesadaran untuk menggunakan teknologi secara bijak masih belum kelihatan.
          Sementara teknologi terus berkembang, alam semakin rusak. dan relasi antarmanusia semakin dangkal. Relakah kita melihat senja hari yang begitu indah direnggut oleh keserakahan? Relakah kita senja hari yang indah dicuri oleh orang-orang yang egois?  Senja yang begitu indah tidak tergantikan oleh senja dalam dunia maya.
          Maka dari itu, Paus Fransiskus mengajak seluruh dunia untuk ikut berpartisipasi membenahi mentalitas dunia. Pengembangan teknologi harus terus dijalankan. Namun pengembangan itu harus memperhatikan keseimbangan ekologis. Manusia yang bijak menggunakan teknologi tidak terpaku pada teknologi itu semata. Fokus pengembangan teknologi adalah semakin memanusiakan manusia



[1]Sena-Gumira Ajidarma, Sepotong Senja untuk Pacarku, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2002, hlm. 11
[2] Ibid, hlm. 8
[3] Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, No. 1: AAS 82 (1990), hlm. 147.sebagaimana dikutip dalam LS 204
[4] Romano Guardini, The End of the Modern World, Wilmington 1998, 60, sebagaimana dikutip dalam LS 203
[5] Terjemahan Indonesia adalah, “…barang praktis dan gaya hidup, seperti yang didesakkan kepadanya oleh rancangan rasional dan produksi mesin yang standar”
[6] Ron Eyerman, Modernity and Social Movement dalam Hans Haferkamp and Neil J. Smelser (eds), Social Change and Modernity, Berkeley: The Regents of the University of California1992, hlm. 37
[7]Dinamakan demikian karena ditemukan oleh Alan Turing
[8] Nano merupakan sistem ukuran yang sangat kecil (10-4) sehingga nanoteknologi adalah teknologi yang sangat kecil namun rumit dan mampu memroses data yang besar melalui sistem logika biner
[9]Valentinus, Pendidikan Nilai Bertarung dengan Dunia Maya dalam Pareira, B. A. (ed), Pendidikan Nilai di Tengah Arus Globalisasi, Malang: Dioma 2003, hlm 110
[10] Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, No. 8: AAS 82 (1990), 152 diupload dalam vatican.va
[11] LS 204
[12] Yohanes Paulus II, op.cit No. 13, hlm 154
[13] K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2011, hlm 252
[14] Ibid. hlm 255
[15] Societas adalah masyarakat, namun memiliki makna yang mendalam tentang being socius, bdk. Armada Riyanto, Menjadi Mencintai,Yogyakarta: Kanisius 2013, hlm 207
[16] Liyan dalam makna rigorousnya berarti di luar peradaban humanitas. Liyan menampilkan realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan kepunyaannya; hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya.  Bdk. Armada Riyanto, Filsafat Liyan dalam Armada Riyanto, Marcellius Ari Christy, dan Paulus Punjung Widodo (eds), Aku dan liyan, Malang: Widya Sasana Publication 2011, hlm 37
[17] Kodrat societas dapat disamakan dengan kodrat sosial. Manusia memiliki kodrat sosial karena manusia selalu tertarik kepada yang lain dengan alasan manusia ingin membentuk keluarga dan institusi, bdk. Armada Riyanto, Menjadi Mencintai,Yogyakarta: Kanisius 2013, hlm207
[18] LS 204
[19] Subjudul ini terinspirasi dari Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya karya St. Fransiskus dari Asisi  (Bdk. LS 1)
[20] Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (trans. by Geoff Bennington and Brian Massumi), Manchester: Manchester University Press 1984, hlm 5
[21] Cinta pada alam sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari cinta pada sesama. Orang yang mencintai sesamanya secara otomatis juga akan mencintai alam, begitu juga sebaliknya. Hubungan antara keduanya telah dijelaskan lebih mendalam dalam subbab masalah hidup bersama dalam tulisan ini
[22] Akumulasi data adalah dunia maya yang berupa basis data logika biner
[23] Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius 2011, 202
[24] Yohanes Paulus II, op. cit No. 7, 151.

No comments:

Post a Comment