Kegalauan Olsen
Pengantar
Memilih bukanlah perkara mudah. Manusia mempunyai kehendak bebas, namun dalam praktiknya manusia lebih senang menyerahkan keputusan tidak pada diri sendiri. Untuk lebih jelasnya, contoh percakapan di bawah ini kiranya dapat memberi gambaran betapa sulitnya membuat keputusan untuk diri sendiri:
A: “Mau makan apa?”
B: “Terserah.”
A: “Makan pecel ya?”
B: “Jangan, nanti asam urat”
A: “Kalau begitu lalapan ya?”
B: “Jangan lalapan, banyak minyaknya. Lagi pula nanti tangannya menjadi kotor.”
A: “Kalau penyetan bagaimana?”
B: “Tidak mau, pedas.”
A: “Lalu, mau makan apa?”
B: “Terserah.”
Kata “terserah” menjadi kata kunci penyerahan keputusan pada orang lain. Di sisi lain, orang yang mengatakan “terserah” sebenarnya mempunyai keinginan, namun entah mengapa ia tidak mau membuat keputusan. Ada beberapa alasan orang takut membuat keputusan, yaitu takut bahwa keputusannya salah, khawatir tidak diterima oleh orang lain akibat keputusan yang tidak menyenangkan, dan tidak tahu tujuan serta keinginannya sendiri.
Dalam filsafatnya, Kierkegaard membahas tentang keputusan. Menurut Kierkegaard, ciri orang yang bereksistensi adalah orang tersebut mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Konsep eksistensi menempatkan manusia sebagai manusia yang unik dan tidak hanya mengikuti pendapat umum. Keputusan tidak dibuat berdasarkan pendapat umum atau hanya ikut-ikutan. Dalam suatu kelompok, masing-masing anggota harus bertindak atas kehendaknya sendiri dan kehendak itu disadari segala konsekuensinya.
Latar Belakang Eksistensialisme Kierkegaard
Refleksi filosofis Kierkegaard mengenai eksistensi merupakan refleksi atas hidupnya secara pribadi. Dari dasar refleksinya, filsafat eksistensialisme Kierkegaard menjadi jelas bahwa eksistensi adalah tentang diriku, keputusanku, kehendakku, bukan mengenai kita. Ke-aku-an tidak terlebur menjadi kita dan aku hanya menumpang eksistensi pada orang lain.
Kierkegaard lahir 5 Mei 1813 dari keluarga yang cukup makmur. Ayahnya adalah orang yang keras dan melankolis.[1]Ayahnya mendidik Kierkegaard untuk menjadi seorang Kristen yang saleh. Relasi dengan ayahnya sangat memengaruhi refleksi-refleksi filosofisnya. Hal itu nampak jelas dalam karyanya yang berjudul Fear and Trembling yang diterbitkan dalam nama samaran Johannes de Silentio:
It was a quiet evening when Abraham rode out alone, and he rode to Mount Moriah; he threw himself upon his face, he prayed God to forgive him his sin, that he had been willing to offer Isaac, that the father had forgotten his duty toward the son. Often he rode his lonely way, but he found no rest. He could not comprehend that it was a sin to be willing to offer to God the best thing he possessed, that for which he would many times have given his life; and if it was a sin, if he had not loved Isaac as he did, then he could not understand that it might be forgiven. For what sin, could be more dreadful?[2]
Refleksinya atas sosok Bapa sangat dipengaruhi oleh gambaran mengenai ayahnya. Pergulatan ayahnya dalam mencintai anak-anaknya ia uraikan melalui pergulatan Abraham ketika hendak mengorbankan Ishak. Ayah yang ideal adalah ayah yang seperti Bapa di surga.
Dalam Fear and Trembling, Kierkegaard tidak sepenuhnya membicarakan tentang ayahnya yang ia cerminkan dalam sosok Abraham dan Allah. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup dan karyanya bukanlah ayahnya, meskipun ia mengikuti kuliah teologi karena disuruh ayahnya. Karya dan pemikiran Kierkegaard sangat kuat dipengaruhi oleh Regine Olsen. Sebegitu pentingnya Regine Olsen dalam pemikiran Kierkegaard hingga tak mungkin membayangkan filsafat eksistensialisme jika Kierkegaard tak pernah mengenal Regine.
Nama Regine Olsen tak banyak dikenal oleh orang-orang yang bergelut di bidang filsafat. Ia adalah orang yang pernah sangat dicintai Kierkegaard. Mereka bertemu pada 18 Mei 1837. Kecintaannya pada Regine terlukis dalam suratnya:
You, sovereign queen of my heart, Regina, hidden in the deepest secrecy of my breast, in the fullness of my life-idea, there where it is just as far to heaven as to hell - unknown divinity! O, can I really believe the poets when they say that the first time one sees the beloved object he thinks he has seen her long before, that love like all knowledge is recollection, that love in the single individual also has its prophecies, its types, its myths, its Old Testament. Everywhere, in the face of every girl, I see features of your beauty.[3]
Setelah ungkapan yang manis dan indah, ironisnya Kierkegaard membatalkan pernikahannya dengan Regine. Pembatalan ini adalah ekspresi kebebasannya untuk memilih. Kierkegaard merasa seperti Abraham. Abraham mempunyai pilihan, apakah ia akan mengikuti kehendak Allah untuk mengorbankan putranya ataukah ia menuruti apa yang baik menurut tatanan etika, yaitu sebagai ayah, ia harus melindungi anaknya.
Kierkegaard ingin melompat dalam tahap eksistensinya. Kehidupan manusia mengikuti dialektika eksistensial yang terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap estetik, tahap etik, dan tahap religius. Dengan mengorbankan putranya, Abraham telah melewati tahap estetik dan etik dan menggapai tahap religius. Abraham menganggap rasa cinta pada Tuhan lebih tinggi nilainya daripada nilai etik apa pun. Kierkegaard juga merasa demikian. Ia merasa bahwa dengan menikah dengan Regine, ia hanya akan mencapai tahap etik dan tidak akan menuju ke tahap religius. Kalau ia menikah, maka ia mengikuti salah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat mengenai hidup berkeluarga.
Bukan hanya mengenai dialektika eksistensi, alasan Kierkegaard tidak jadi menikah dengan Regine adalah karena sifatnya yang melankolis. Kata-katanya yang romantis pada Regine dan sifatnya yang perfeksionis (terutama dalam catatan akademisnya) menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang melankolis. Baginya menikah adalah sebuah big deal:
The Christianity of us men is, to love God in agreement with other men, to love and be loved by other men, constantly the others, the herd included. The Christianity of the New Testament would be: in case that man were (sic!) really able to love in such a way that the girl was the only one he loved and one whom he loved with the whole passion of a soul (yet such men as this are no longer to be found), then hating himself and the loved one, to let her go in order to love God. And it is in view of this I say that such men, men of such quality and caliber, are not born any more.[4]
Gagasan mengenai cinta kasih yang sempurna melekat secara kuat dalam pribadi Kierkegaard. Ketika ia memutuskan untuk menikahi Regine maka ia harus mencintainya dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Selain itu, relasinya dengan Regine dalam pernikahan dianggapnya sebagai relasi yang suci karena mengantar pada relasi pada Allah. Hal-hal demikian tersebut tidak bisa ia penuhi dan ia juga yakin bahwa tidak ada seorang lelaki pun yang sanggup melakukan hal seperti itu. Kierkegaard merelakan hubungannya dengan Regine tidak ia teruskan.[5]
Komitmen Pribadi dalam Kehidupan Beragama
Pemikiran Kierkegaard kurang disukai oleh pihak Gereja. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena Kierkegaard sangat banyak mengritik kehidupan menggereja. Agama Kristen menjadi bahan kritik dan bukan agama lain karena agama itulah yang ia hayati. Pokok utama kritiknya adalah mengenai komitmen pribadi untuk berelasi dengan Tuhan. Eropa sudah dikuasai oleh pemikiran Hegel tentang Roh Dunia. Akibatnya, individu-individu cenderung mengikuti Roh Dunia dan melebur ke dalam kelompok tanpa ada komitmen subjektif untuk menjalankan aktivitas rohani. Kierkegaard menyebut orang-orang yang melebur ke dalam kelompok ini tidak bereksistensi karena karakter unik dalam membuat keputusan pribadi tidak ada.
Fenomena kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Beragama hanyalah sekadar menjalankan kewajiban tanpa ada niat pribadi untuk menjalin relasi dengan Tuhan. Bahkan, banyak orang yang hanya ikut-ikutan saja menjalankan kewajiban agama tanpa mengerti apa yang dilakukan. Orang-orang seperti itu tidak mempertimbangkan segala konsekuensinya dalam membuat keputusan sehingga eksistensinya lebur ke dalam kelompok dan secara pribadi tidak bereksistensi.
Pola hidup beragama yang ikut-ikutan ini sesungguhnya hanya berbahaya, dapat dilihat dari peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Misalnya dalam peristiwa demo 4 November 2016, kumpulan massa itu beramai-ramai (mengklaim) membela ajaran agama, terkait isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Padahal jika ditelusuri, massa yang ikut demo itu belum tentu tahu apa makna aktivitas yang dilakukannya itu.
Kondisi itu diperparah bahwa lembaga agama hanya berusaha menarik anggota sebanyak mungkin. Yang penting banyak anggota yang masuk selanjutnya baru pemahaman dan pengalaman iman mereka. Kierkegaard menolak hal itu:
In this way, the priestly corporation which speculates in human numbers has won men, made them believe they are Christians by making them believe something under the name of Christianity, something which appeals to them!…The difficulty by no means consists in making it clear that the official Christianity is not the Christianity of the New Testament, but in the fact that the Christianity of the New Testament and what the New Testament understands by being a Christian is the last thing of all to be pleasing to a man. And think then what it means to have to make men who are demoralized by this knavish preaching of Christianity, coddled by the notion that the token for distinguishing Christianity is that it appeals to one[6]
Agama menjadi semacam barang dagangan di pasar malam. Kehidupan rohani tidak menampakkan sesuatu yang otentik. Motivasi yang mendorong orang untuk beribadah bukanlah relasi yang intim dengan Tuhan, namun adanya kebutuhan rasa aman dan nyaman dalam hidup.
Mengapa orang pergi ke gereja setiap Hari Minggu? Mengapa orang menjalankan shalat lima waktu? Mengapa orang berpuasa? Motivasi apa yang mendasari orang menjalankan kewajiban agamanya? Karena sudah memang dari dulu aturannya demikian, karena orang lain juga melakukan hal yang serupa. Bagaimana jika orang lain tidak melakukannya? Orang juga tidak akan melakukannya. Orang takut dianggap berbeda. Keunikan manusia kurang dihargai dan dianggap sebagai penyimpangan. Eksistensi pribadi harus melebur ke dalam kelompok agar aman dan tidak dimusuhi. Oleh karena itu, orang cenderung mengikuti apa yang orang lain lakukan.
Isi dan makna agama itu sendiri kurang diperhatikan. Kegiatan agama yang dilakukan oleh mayoritas orang biasanya dianggap sebagai kegiatan agama yang aman dan bahkan benar. Jarang ada yang mau memilih hal yang berbeda. Perbedaan merupakan hal yang mengerikan dan berbahaya. Terlepas mana yang benar dan mana yang salah, mayoritas biasanya dianggap benar. Tidak ada yang berani membuat lompatan iman seperti Abraham. Kerohanian bukanlah milikku, tapi milik kita, kami.
Objektivisme Hegel telah merasuk ke dalam banyak orang. Orang menjadi tidak menyadari makna dari aktivitas yang dilakukannya. Dalam kehidupan beragama, Kierkegaard menekankan subjektivisme. Kerohanian adalah masalah pribadi, sebagaimana ia contohkan dalam kisah Abraham. Bagi Abraham, relasinya dengan Tuhan adalah relasinya secara pribadi, tidak ada orang lain, bahkan Sarah, istrinya dan Eleazar bisa ikut campur. Saat hendak mengorbankan Ishak, Abraham juga sadar betul apa yang hendak dilakukannya.
Mengapa Orang tidak Setia pada Komitmen Pribadinya?
Komitmen pribadi menjadi kunci bagi seseorang untuk bereksistensi. Namun dalam berbagai kesempatan, komitmen yang dibuat secara pribadi ternyata juga bisa berubah di kemudian hari. Kierkegaard sendiri juga mengalami sendiri perubahan komitmen ini. Ia sudah berencana menikahi Regine Olsen, namun pada akhirnya ia membatalkan pernikahan itu.
Eksistensi tidak mengikuti dialektika Roh Dunia (Geist). Eksistensi mengikuti apa yang disebut dengan dialektika eksistensi:
We can better understand what he means by his typology of aesthetic, ethical, and religious existence if we see humor as both a pervasive feature of human existence and a special “boundary zone” that lies between the ethical and the religious spheres.[7]
Telah disinggung pada bagian latar belakang bahwa dialektika melalui tiga tahap, yaitu tahap estetik, etik, dan religius. Setiap tahap sangat memengaruhi keputusan yang dibuat setiap pribadi. Setiap tahap tidak selalu dilalui secara keseluruhan oleh semua orang. Ada yang hanya sampai tahap estetik, ada yang merasa cukup dengan tahap etik, dan ada pula yang mencapai tahap religius. Ketiga tahap itu diterangkan secara jelas dalam The Stage of Life’s Way:
"The esthetic sphere is the sphere of immediacy, the ethical the sphere of requirement (and this requirement is so infinite that the individual always goes bankrupt), the religious the sphere of fulfillment, but, please note, not a fulfillment such as when one fills an alms box or a sack with gold, for repentance has specifically created a boundless space, and as a consequence the religious contradiction: simultaneously to be out on 70,000 fathoms of water and yet be joyful. Just as the ethical sphere is a passageway-which one nevertheless does not pass through once and for all-just as repentance is its expression, so repentance is the most dialectical.[8]
Tahap estetik berhubungan dengan hal-hal yang menyenangkan seperti musik, seks, pernikahan, dan lain-lain. Dosa dan aturan-aturan etika tidak berlaku bagi orang yang berada dalam tahap ini. Segala aturan hanya membatasi kesenangan. Indera sangat berperan penting dalam estetik. Tokoh yang diketengahkan oleh Kierkegaard dalam tahap ini adalah Don Juan[9], Faust[10], serta Ancaeus dan Oedipus[11]. Gambaran hidup manusia mulai dari kesenangan yang membahagiakan hingga kesenangan yang membawa malapetaka - sehingga orang yang demikian disebut the unhappiest man dalam Either/Or - terlihat jelas dalam ketiga tokoh tersebut.
Tahap etik berlaku setelah orang merasa bahwa kesenangan yang tanpa batas itu hanya kesenangan semu. Etika dapat menuntun orang yang telah putus asa karena dibelenggu oleh kesenangan sehingga hidupnya menjadi baik dan bernilai. Tokoh dari tahap etik adalah Sokrates.[12] Sokrates memegang teguh keabadian jiwa yang harus dipupuk melalui etika. Ia bahkan sampai mengorbankan nyawanya demi etika yang dianggapnya sebagai kebenaran tertinggi.
Jika sudah melewati tahap estetik dan etik, maka tahap selanjutnya adalah tahap religius. Tahap ini sangat berbeda dengan kedua tahap sebelumnya. Orang tiba-tiba menjadi tidak rasional. Contohnya adalah Abraham. Ia menempatkan kewajiban terhadap Tuhan di atas kesenangan duniawi dan bahkan norma-norma etika yang berlaku.
Saat mencintai Regine, Kierkegaard merasa masih berada di tahap estetik dan etik. Pencarian eksistensinya berlanjut dan ia kemudian mengubah keputusannya. Demikianlah, setiap tahap mencerminkan apa yang paling berharga dalam hidup orang itu. Tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk berada di tahap tertentu. Semuanya tergantung pada refleksi pribadi masing-masing. Ketika orang merefleksikan hidupnya dan menemukan mutiara yang berharga,[13]maka keputusan pun berubah.
Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme Kierkegaard adalah refleksi filosofis atas hidupnya sendiri. Dialektika eksistensi adalah permenungan atas setiap tahap hidupnya. Kierkegaard mendorong setiap orang untuk berani mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
Salah satu keprihatinan yang mendasari Kierkegaard untuk mendorong setiap orang agar bereksistensi adalah pola kehidupan beragama di Denmark yang hanya ikut-ikutan saja akibat pengaruh filsafat Hegel. Hal seperti ini sebenarnya juga menjangkiti orang-orang di Indonesia. Meskipun zaman demokrasi telah tiba, namun perbedaan-perbedaan kurang dihargai. Itulah yang membuat orang takut untuk terlihat beda. Akibatnya, tidak ada komitmen pribadi dalam setiap keputusan. Apalagi sejak kecil anak tidak dididik untuk membuat keputusan sendiri, namun dipilihkan oleh orang tua sepenuhnya. Dalam sekolah pun demikian, pertanyaan yang ‘berbeda’ dianggap sebagai penyimpangan dan penyeragaman marak terjadi. Melalui filsafat eksistensial, setiap orang diajak untuk bereksistensi, On me dit qu 'aujourd'hui, on me dit que les autres font ainsi Je ne suis pas les autres[14].
[1] Bdk. Søren Kierkegaard. Fear and Trembling (translated and edited by: Edna V. Hong and Howard H. Hong). Princeton: Princeton University Press, 1983. Hlm. xii-xiii
[2] Søren Kierkegaard. Fear and Trembling and The Book on Adler (trans. by: Walter Lowrie). London: Everyman’s Library, 1994. Hlm. 12-13
[3] Edna and Howard Hong (eds). Journals & Papers of Søren Kierkegaard,. Bloomington: Indiana University Press, 1976. notes on 11 August 1838
[4] Søren Kierkegaard. Attack upon Christendom (trans. by: Walter Lowrie). Princeton: Princeton University Press, 1991. Hlm. 163
[5] Kierkegaard tidak menggunakan kata memutuskan relasi, tetapi tidak menyelesaikan relasi (Therefore the one who loves expresses that the relationship, which the other call a break, is a relationship that has not yet finished, Søren Kierkegaard. Works of Love, Some Christian Reflections on Discourses (trans. by: Edna and Howard Hong). Princeton: Princeton University Press, 2013. Hlm. 306)
[6] Søren Kierkegaard. Attack upon Christendom (trans. by: Walter Lowrie). Princeton: Princeton University Press, 1991. Hlm. 151
[7] C. Stephen Evans. Kierkegaard on Faith and Self, Collected Essays. Waco: Baylor University Press, 2006. Hlm. 12
[8] Søren Kierkegaard. Stages on Life's Way (trans. by: Edna and Howard Hong). Princeton: Princeton University Press, 1988. Hlm. 476-477
[9] Don Juan still strides across the stage with his 1,003 ladyloves. Out of reverence for the venerableness of tradition, no one dares to smile. If a poet had dared to do this in our age, he would be laughed to scorn, Søren Kierkegaard. Either/Or (trans. by: Edna H. Hong and Howard H. Hong). Princeton: Princeton University Press, 1987. Hlm 22-23
[10] Faust has language as its medium, and since this is a much more concrete medium, for that reason, too many works of the same kind are conceivable. But in the same sense as the classic works of Greek sculpture, Don Giovanni is and remains the only one of its kind, Ibid. Hlm 57
[11] His life is as meaningless as Ancaeus's, of whom it is customary to say that nothing is known except that he gave rise to the proverb: There is many a slip betwixt the cup and the lip, Ibid. Hlm 226
[12] Socrates demonstrated the immortality of the soul from the fact that sickness of the soul (sin) does not consume it as sickness of the body consumes the body, dalam Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, a Christian Psychological for Upbuilding and awakening (trans. by: Edna V. Hong and Howard H. Hong). Princeton: Princeton University Press, 1980. Hlm 21-22
[13] Bdk. Mat 13:44-46
[14] Penggalan lirik Pour Que Tu M'aimes Encore yang dinyanyikan oleh Celine Dion, yang artinya, mereka berkata bahwa orang lain melakukan hal tersebut, aku tidak seperti orang lain.
No comments:
Post a Comment