Thursday, 24 August 2017

Filsafat Budaya: van Peursen, Alam Pikiran Manusia

Alam Pikiran Manusia menurut Van Peursen




Pengantar
Keadaan dunia terus berubah seiring perkembangan zaman. Perubahan ini terutama menyangkut kebudayaan dan peradaban. Mulai dari zaman pra-sejarah hingga sekarang telah banyak muncul berbagai hal yang sangat mempengaruhi. Manusia yang berada dalam dunia juga turut dipengaruhi oleh perubahan ini. Pertanyaannya, apakah dunia yang mempengaruhi dunia atau dunia yang mempengaruhi pikiran manusia?
Van Peursen melihat perubahan yang terjadi dalam satu skema umum yang mana di dalam skema itu masing-masing kebudayaan mengisi dengan caranya masing-masing. Dalam skema umum tersebut terdapat tiga alam pemikiran, yang pertama adalah alam pikiran mitis, yang kedua adalah alam pikiran ontologis, dan yang ketiga adalah alam pemikiran fungsional. Ketiganya mempunyai ciri khas masing-masing dan fungsinya masing-masing dalam sejarah peradaban manusia.

Alam Pemikiran Mitis
Peradaban manusia yang awali disebut peradaban yang primitif oleh para ahli saat ini. Kata ‘primitif’ biasanya diartikan secara peyorasi sebagai terbelakang. Namun pada dasarnya, primitif adalah saat di mana manusia masih mempunyai kedekatan dengan alam dan belum dikacaukan dengan teknik (1976: 34). Alam ini dimaknai sebagai hal yang melingkupi kehidupan manusia dan tidak dapat diatur atau dipahami sepenuhnya (misteri). 

Manusia adalah subjek
yang berada di dalam
dunia sebagai objek.
 
           
Dalam alam pemikiran mitis dikenal berbagai macam mitos. Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang melalui cara penyampaian lisan, tulisan, atau pementasan (1976: 37). Pada dasarnya, mitos adalah sebuah buku pedoman, bukan cerita dongeng semata.
            Mitos mempunyai fungsi juga. Fungsi mitos yang paling utama adalah membuat manusia bisa turut berpartisipasi dalam daya-daya kekuatan alam (1976: 37). Fungsi utama ini dapat dijabarkan lagi ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan gaib, memberi jaminan bagi masa kini, dan memberi pengetahuan tentang dunia.


Fungsi Mitos
Manusia berada di dunia bersama dengan yang lain. Hal lain itu adalah daya-daya yang tak kelihatan namun dapat dirasakan kehadirannya. Karena tak kelihatan manusia seringkali mengabaikan daya-daya ini dan menganggapnya tidak ada. Dalam hal ini mitos memberi peringatan kepada manusia untuk memberi perhatian pada daya-daya yang berada di luar penguasaan ini agar dalam hidupnya tidak celaka. Salah satu mitos dalam budaya Jawa adalah Batara Kala. Batara Kala dianggap sebagai raksasa yang memakan bulan ketika gerhana bulan. Memang pada dasarnya tidaklah demikian, hanya saja masyarakat memunculkan mitos agar orang ingat akan daya alam yang berpengaruh pada gerhana bulan yang tidak bisa diatur oleh manusia. Intinya, manusia diingatkan agar selalu mawas diri bahwa dirinya itu hanya bagian kecil dari alam dan agar hidup manusia bisa aman, manusia perlu menjaga keharmonisan alam semesta. Inilah fungsi mitos yang pertama.
            Fungsi mitos yang kedua adalah memberi jaminan akan masa kini. Maksudnya, ada banyak hal yang dialami atau diketahui adanya namun untuk menjelaskan asal-usulnya orang tidak bisa menjelaskan. Mitos membantu manusia untuk memeberi keterangan tentang apa yang kira-kira terjadi pada masa lalu untuk dihadirkan kembali pada masa kini. Misalnya tentang terjadinya suatu tempat (legenda), orang membuat cerita tentang daya-daya yang membentuk tempat itu lalu membuat semacam tarian untuk diperagakan agar asal-usul tempat tersebut menjadi jelas. Tarian Rara Jonggrang adalah salah satu contoh tarian yang digunakan untuk memenuhi fungsi ini.


Upacara dan Seni
Dalam alam pikiran mitis, upacara-upacara juga mendapat perhatian besar dan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok sosial. Namun, upacara tidak hanya dimaksudkan untuk memuja daya-daya yang berada di luar jangkauan manusia tersebut. Upacara juga berfungsi untuk meneguhkan hati dan menguatkan secara psikologis. Misalnya, tentang upacara ngruwat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ruwatan dilakukan pada anak yang dianggap punya sengkala, yaitu seperti anak dua laki-laki semua (uger-uger lawang), anak tiga yang tengahnya laki-laki (pancuran kaapit sendang), dan lain-lain. Sengkala mengakibatkan hidup seorang anak kena sial. Maka diadakanlah ruwatan, yaitu mengadakan pagelaran wayang dengan lakon ‘Ngruwat Murwakala’. Upacara ngruwat bukan hanya untuk menangkal daya negatif dari luar, tetapi juga memberi peneguhan kepada sang anak agar dalam menjalani hidupnya dengan pikiran yang positif.
            Dalam alam pikiran mitos, seni memainkan peranan penting, khususnya seni rupa. Ada banyak gambaran-gambaran yang dipahatkan dalam gua. Fungsi gambar-gambar ini adalah menjelaskan atau mendeskripsikan mitos dan merekam jejak-jejak perjalanan hidup atau catatan sejarah dan kisah. Maka dalam meneliti suatu seni rupa alam pikiran mitis, orang perlu melihat apakah itu sebagai catatan sejarah atau cerita mitos.

           
Mitos dan Praktik Magi
Mitos berbeda dengan praktik magi. Mitos memang ada yang berupa mitos religius, namun mitos religius berbeda dari praktik magi. Mitos religius biasanya berhubungan dengan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dengan daya-daya dari luar, sedangkan praktik magi merupakan usaha merebut kekuasaan agar manusia memiliki daya dari luar untuk menguasai satu sama lain. Contohnya adalah praktik santet merupakan magi, sedangkan bersih desa dan slametan adalah mitos religi.

           
Kesimpulan Alam Pemikiran Mitis
Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa alam pemikiran mitos adalah alam pemikiran yang cukup kaya dan memperlihatkan usaha manusia dalam mengekspresikan apa yang dipercayanya,, yaitu daya-daya dari luar. Alam pemikiran ini tidak bisa dikatakan sebagai alam pemikiran –pralogis hanya karena dianggap demikian oleh kaum rasionalis dan romantic. Alam pemikiran mitis adalah alam pemikiran yang lain dengan alam pemikiran logis-ontologis dan memuat kekayaannya sendiri.


Alam Pikiran Ontologis
            Ciri utama dunia mitis adalah rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya  purba  dalam hidup dan alam raya. Berangkat dari pengalaman ini, manusia mencari suatu relasi yang tepat untuk menciptakan harmonisasi dengan daya-daya tersebut. Usaha tersebut melahirkan sikap yang praktis dan teoritis. Dari sikap praktis dapat kita lihat melalui upacara, ritual, dan lain sebagainya. Dan sikap teoritis nampak dari berbagai macam dongeng penciptaan juga berbagai jenis cerita semacam ini.
            Ketika manusia mulai beralih pada pemikiran ontologis, manusia mulai menjaga jarak dari semua yang mengitarinya. Hal ini membuat manusia bisa menjadi penonton dalam hidupnya dan dari sana dapat memahami daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Jika sebelumnya kita melihat pemikiran mitos maka kini kita beranjak pada pemikiran logos yang mirip dengan logis. Yang patut digaris bawahi adalah bahwa meski manusia sudah menggunakan pemikiran logis saja. Hal ini terjadi karena aspek seperti emosi, harapan, dan agama tetap memiliki pengaruh. Disinilah peran filsafat muncul dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Dengan kesadarannya, manusia mencoba mempertanyakan segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya dan sekitarnya seperti kebahagiaan, penderitaan, alam raya, dan lain sebagainya. Mengerti, memahami sebab musababnya, itu lalu terasa sebagai suatu pembebasan dan penebusan.
            Jika manusia mulai memikirkan dan mencari segala sesuatu tentang peristiwa dalam hidupnya maka bisa dikatakn ia mulai merenungkan tentang sang Ada. Semenjak dahulu, Ada menjadi objek study filsafat yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan (ontologis) tentang Ada. Dalam permenungannya, Ada memiliki sikap pembebasan. Sikap pembebasan ini kentara dalam Filsafat India  baik Hindu maupun Budha. Dalam filsafat Timur, Ada menampakan suatu pembebasan melalui tatacara atau upacara adat istiadat. Jika manusia mencapai dasar dan relasi dengan Ada maka ia akan merasakan suatu pembebasan. Pandangan Filsafat Timur ini tentu saja berbeda dengan Filsafat Barat. Jika Filsafat Timur cenderung meleburkan segala sesuatu (bahkan individu manusia) pada yang Mutlak dan tak terungkapkan maka Filsafat Barat cenderung memperhaikan fakta-fakta yang real. Meski berbeda namun ada persamaan mendasar diantara keduanya. Baik Filsafat Timur maupun Barat mencari eksistensi manusia dan menyusun suatu kurikulum tentang sang Ada. Dari sana Ada dapat dirasakan sebagai suatu pembebasan.
            Dalam budaya Yunani, peralihan pemikiran mitis ke ontologis mempengaruhi proses perangkuman alam raya dan masyarakat dalam suatu ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dirasakan sampai saat ini diseluruh dunia. Dalam budaya Yunani kuno kita dapat melihat bagaimana masyarakat saat itu mencoba menggambarkan yang ilahi menjadi dapat dipahami. Wujud yang Nampak adalah banyaknya patung atau karya seni sebagai wujud pemahaman yang ilahi. Dengan demikian rahasia-rahasia yang meliputi awal mula ditarik dalam jangkauan factual. Manusia mengambil jarak, mengamat-amati, dan mengkotak-kotakkan. Hal ini merupakan ciri dari pemikiran ontologis. Jika demikian maka penggambaran yang ilahi juga ekspresi dari kekecewaan manusia atas takdir yang ilahi. Sulit dimengerti namun diterima. Manusia tidak igin hanya sekedar menerima takdir namun juga mendapat pengertian sehingga bisa menuju pembebasan. Maka dari itu tema yang   digarap oleh filsafat antara lain: hubungan manusia terhadap duna ilahi, dunia transeden; pengertian mengenai dosa dalam kehidupan manusiawi dan duniawi; hubungan antara jaman ini dan jaman abadi. Nampak suatu perubahan pandangan mitologis ke filsafat metafisika; gambaran mitologis tentang penciptaan diurai menjadi filsafat fisika (Aristoteles); pembersihan bati atau katarsis menjadi filsafat etika. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa alam piker Yunani berubah dari mitis menuju suatu keyakinan bahwa alam semesta diatur oleh tata tertib yang adil. Semua itu dipahami lewat pengertian dan pengetahuan.
            Perubahan yang terjadi menuntut  manusia untuk senantiasa memandang baru dunia ini, dunia yang sudah dikenal, namun penuh misteri. Yang digarisbawahi adalah perubahan daya pikir. Sikap baru ini bernama alam piker ontologis.


Fungsi-Fungsi pemikiran ontologis
           Pertama-tama pemikiran ontologis berarti memetakan segala sesuatu yang mengatasi manusia. Atau bisa dikatakan manusia mencoba masuk dan mengenal dunia transenden. Yang dipentingkan di sini bukanlah pengertian spekulatif atau ide-ide belaka. Platon mungkin berbicara tentang dunia ide, namun ide yang dimaksud adalah suatu kadaan yang luhur yang mengatasi dunia ini. Untuk memahaminya, kita ingat lagi analogi dari Platon tentang dunia ide ini. Dunia ide seperti matahari, yang membuat kita tidak bisa langsung menatapnya karena itu, dunia ide tidak dapat ditangkap dengan konsep atau kata-kata. Sedangkan Aristoteles menggunakan istilah Ada ilahi yang berarti suatu eksistensi yang memuncak pada puncak yang tertinggi dan merupakan penyempurnaan dunia kita saat ini. Dengan demikian, pengalaman manusia dengan daya kekuatan Ilahi diteruskan dalam terang filsafat.

            Dari uraian di atas, kita melihat adanya perbedaan yang mencolok mencolok antara pemikiran mitis dan ontologis. Dalam pemikiran mitis manusia berperan sebagai partisipan dalam daya-daya yang meresapi alam dan manusia; sedangkan pemikiran ontologis manusia mengambil jarak terhadap semua yang mengitarinya. Pergeseran pemikiran ini Nampak dalam pembangunan kuil-kuil kuno Yunani. Ada semacam tiang pembatas atau terkadang juga tirai yang memisahkan dewa-dewa yang luhur. Jarak yang diambil manusia dalam pemikiran ontologis menjadikan manusiasebagai subjek yang berhadapan langsung dengan objek, dan karena jarak itu manusia ingin memeroleh pembebasan dari mitis. 

               
manusia sebagai subjek berada
di luar objek (dunia)
       Persamaan dan perbedaan dua alam pikiran ini menjadi semakin jelas. Kesamaan keduanya adalah menghubungkan dunia ini dengan dunia transenden. Namun dalam dunia mitis, kodrat baru jelas dalam perspektif yang mengatasi alam kodrat. Contohnya, adanya ritual seperti upacara panen dan upacara-upacara tradisional lainnya. Sedangkan dari ontologis, pengertian mengenai yang kodrat (pekerjaan, pertukangan, cerita,- cerita) membuka pandangan terhadap dunia yang nampak.
            
        Fungsi yang kedua, dalam dunia mitis sama dengan sikap ontologis. Proses penciptaan dalam hidup manusia berpangkal pada hukum abadi. Mitos masih dipakai namun lebih pada sarana untuk menerangkan. Fungsi yang ketiga dari ontologis ialah menyajikan pengetahuan. Mitos juga menampilkan pengetahuan, namun ontologis lebih bersifat sistematis dan dapat diperhitungkan. Sistem kerja ontologis mengaitkan satu sebab dengan sebab lainnya hingga sampai pada sebab pertama.


Manusia dan Dunia
         Manusia melukiaskan dan membeberkan objek. Dalam dunia mitis, manusia belum menemukan dirinya.karena dibatasi oleh daya-daya mitis. Pandangan ini berubah semenjak Heraklitos menulis bahwa dewa-dewi ada di dalam manusia itu sendiri. Pandangan Heraklitos ini disempurnakan oleh Leibniz dengan tesisnya yang berbunyi,”Seluruh alam raya sebagai manusia, tersusun dari dunia-dunia dalam, yang masing-masing menimba pengertian dari dalam.” Hal serupa juga muncul dalam filsafat India. Dalam kitab Upanishad terdapat suatu proses menemukan diri atau Atman. Manusia berubah dengan bersama manusia juga perspektifnya terhadap dunia.
            Jadi, manusia sebagai subjek telah membulatkan diri. Namun juga bukan hanya manusia, melainkan dewa-dewi juga digariskan dengan jelas melalui simbol-simbol (binatang). Tahap ontologis menjadikan manusia menanyakan ‘apa’-nya dewa. Manusia mengambil jarak dengan maksud memberi hormat dalam pengenalan dewa-dewi. Dalam dunia mitis ini, nilai-nilai belum dapat dirumuskan dengan cermat. Pembaharuan-pembaharuan dalam masyarakat dapat terjadi jika nilai-nilai dalam dunia mitis dapat dirumuskan dengan cermat. Nilai-nilai mencerminkankan suatu hal yang hierarkhis, seperti dari yang penting menjadi tidak penting, begitu juga sebaliknya. Namun puncak akhirnya adalah Tuhan sendiri.
            Uraian di atas menampilkan suatu gejala, yaitu perkembangan; manusia yang menyejarah. Sudah banyak ditulis oleh para pujangga mengenai apa saja yang telah terjadi. Namun alam pikiran Yahudi-Kristen memandang jauh ke depan dengan pertanyaan, bagaimana keadaan akhir nanti.


Substansialisme
            Alam pikiran mitis membawa manusia pada kenyataan bahwa sesuatu itu ada, sedangkan ontologis, yang dipentingkan adalah ‘apa’-nya. Pandangan pertama, manusia menempatkan diri dan pandangan kedua mengandaikan hubungan yang masuk akal. Kedua sikap itu menunjukkan suatu sikap kerendahan hati. Namun dalam langkah yang sama menghasilkan kesombongan: mitis dengan magisnya dan ontologis dengan substansialisme.
            Substansialisme merupakan suatu cara untuk menempatkan suatu hal lepas dari yang lainnya. Hal ini menyebabkan manusia berpikir bahwa ia dapat merangkum dunia dengan akal budinya. Dampak ekstrim dari substansialisme adalah sikap individual. Manusia hanya penjumlahan belaka. Rupanya, substansialisme juga merambah dunia seni, baik itu seni lukis maupun seni rupa.
            Substansialisme itu membekukan patokan agama dan filsafat. ‘Apa’-nya menjadi substansi dan akhirnya terisolisasi. Transendensi lenyap dan manusia tenggelam dalam tembok imanensinya. Dengan demikian, dunia ini menjadi tidak nyata. Alam pikiran substansialis adalah jembatan ke suatu kebudayaan baru. Bukan lagi belenggu magis, tapi kekosongan alam pikiran substansialis


Pemikiran Fungsional
Pemikiran mitis dan ontologis merupakan latar belakang untuk dapat memahami kebudayaan masa ini yang merupakan kebudayaan fungsional. Pemikiran fungsional merupakan suatu pembebasan dari substansialisme yang mengukung kita. Substansialisme membuat manusia semakin terasing. Keterasingan adalah suatu keadaan ketika barang-barang dunia yang serba biasa dialami nampak begitu asing. Manusia menjadi asing atas alam raya sekitarnya dan industri-industri yang dibuatnya sendiri. Semula manusia berpijak pada substansialisme untuk menemukan hubungan dirinya dengan daya kuasa sekitarnya, namun malah kehilangan dasar kepercayaannya yang disebut krisis kepastian.
Dalam pemikiran fungsional, manusia dan dunia saling menunjukkan relasi antara yang satu dengan yang lain.

                       Manusia sebagai subyek masih berhadapan dengan dunia, tapi bukan lagi dunia yang bulat (subyek terbuka bagi obyek dan sebaliknya). Segala sesuatu bersifat kontekstual yang artinya dunia harus dimaknai dengan melihat konteks.
        Hampir sama seperti pemikiran ontologis, pemikiran fungsional masih menampilkan “apa”-nya, hanya saja secara lebih detail untuk menunjukkan fungsinya. Sikap ini merupakan sikap eksistensiil yang mempunyai ciri khas ketegangan. Manusia mengarahkan dirinya dengan segala gairah hidup dan emosinya. Segala hal yang tidak menggairahkan dan menggerakkan diri dianggap tidak berarti. Segala hal yang gaib tidak lagi berguna karena tidak membuktikan apa-apa. Manusia mendobrak segala tradisi untuk mrnsmpilksn dirinya sebagai anggota komunitas yang aktif. Dengan demikian, manusia dapat membuktikan bahwa dirinya ada dan berfungsi dalam komunitas.


Aspek-aspek Dalam Pemikiran Fungsional
            Menurut Karl Marx, para ahli filsafat telah memberikan tafsiran masing-masing mengenai dunia ini. Inilah saatnya untuk merubah dunia. Hal ini berarti sesuatu yang masuk akal saja belumlah cukup. Sesuatu itu juga harus berguna dan efisien. Maka, manusia berusaha untuk mengubah dunia agar berguna bagi dirinya.etika tidak lagi berurusan dengan norma tetapi merubah situasi konflik dalam aktifitas politik dan sosial.
            Sesuatu kadang juga mempunyai arti yang tidak terduga seperti misalnya pekerjaan. Pekerjaan bukanlah benda. Pekerjaan adalah aktivitas yang memberi isi pada eksistensi manusia. Pekerjaan adalah aktivitas memanusiakan manusia, misalnya dengan menghubungkan aspek finansial dengan kesenangan yang diperoleh dari padanya. Intinya adalah memberi dasar pada masa kini.
            Kekuatan adikodrati tidak lagi memberi jaminan pada kehidupan melainkan yang memberikan jaminan pada kehidupan adalah keadaan yang dapat dihayati oleh manusia dan tidak mengatasi daya kemampuannya. Segala tekhnologi baru dianggap fungsional jika memberi arti pada situasi konkret.
            Dalam pemikiran fungsional, pengetahuan sangat berperan penting. Pengetahuan yang dimaksud bukan hanya teori melainkan lebih kepada praktek, bukan lagi hapalan tetapi pengertian akan bagaimana fungsinya simbol-simbol itu digunakan dalam kehidupan. Maka, pertanyaan dasarnya adalah bagaimana itu ada (bagaimananya).

Manusia dan Dunia
            Hal yang paling penting yang berkaitan dengan manusia dan dunia adalah relasi. Relasi itu berada diantara identiras-identitas dan terus berkembang. Dunia dan ilmu tentangnya bukanlah cermin yang netral menampilkan apa nya. Akan tetapi, ilmu itu menyimpan makna dibaliknya.
            Dunia luar dan dunia batin manusia tidak lagi dipisahkan secara ketat. Dunia bawah sadar diwarnai oleh relasi dengan dunia luar. Apa yang ditampilkan dalam kebudayaan juga menampakkan dunia dalamnya. Dengan menyelidiki bagaimananya, “apa”-nya kelihatan. Maka dari itu, kebudayaan bukanlah kata benda tetapi kata kerja. Dalam kebudayaan manusia mengekspresikan diri dan mencari relasi yang tepat dngan dunianya.
            Dunia adikodrati dipandang sebagai dunia tambahan dan dianggap ada sejauh berguna dan dapat dikonkritkan dalam hubungan sehari-hari. Bertalian dengan itu, nilai-nilai mendapatkan fungsi baru. Nilai-nilai yang adikodrati tidak hanya berurusan dengan yang sakral dan transenden tetapi juga profan dan imanen.


Faham Operasionalisme
            Faham operasionalisme pada dasarnya adalah bermain-main dengan hal yanng belum tentu ada tetapi dianggap ada kaena diungkapkan. Contohnya adalah para teolog sering menulis tentang Tuhan dan memberi ulasan panjang lebar tentang-Nya. Tetapi, itu lebih bersifat logis daripada konkrit. Maka, secara operasional konsep dan metode memegang peranan penting tanpa harus ada “apa”-nya. Kata kuncinya adalah “tak lain daripada ….”. Contohnya manusia tak lain daripada hasil-hasil tes psikologis. Padahal data-data seperti ini masih bisa diragukan karena hanya berupa skema belaka.
            Sikap operasionalistis mereduksi eksistensi manusia. Manusia hanya dibatasi pada aspek-aspek tertentu saja. Contohnya adalah cinta hanya dipandang sebagai permainan asmara.


Kesimpulan
            Pemikiran fungsionalisme menekankan imanensi dan eksistensialisme. Selain itu, juga selalu mengarah pada keterbukaan. Bahayanya adalah identitas diri mulai pudar dan keotentikan hilang. Maka muncullah sikap operasionalisme yang memanipulasi manusia. Maka, fungsionalisme bukanlah suatu hal yang secara otomatis terjadi, akan tetapi lebih merupakan suatu proses dan tanggung jawab yang akan terus berkembang kealam pemikiran yang lebih maju.     

No comments:

Post a Comment